Tradisi Kupatan dan Bertukar Masakan di Surabaya

 

Surabaya|Lampumerah.id – Sejak Azan subuh berkumandang di wilayah Tandes kidul Surabaya pada Kamis (20/05) dini hari. Para ibu dan wanita dewasa sibuk mempersiapkan masakan khas hari Lebaran ketupat yang jatuh hari ini.

 

Beraneka masakan yang diolah harus sudah tuntas tersaji sebelum siang tiba. Aneka masakan, yaitu lodeh manissa, kue lepet dan lain-lain. Semua penyiapan bahan-bahan tentu sudah dipersiapkan sehari sebelumnya.

 

Tradisi ketupat, yang dilangsungkan seminggu setelah Idul Fitri, memang sudah menjadi tradisi di negara kita, khususnya di Surabaya. Hal ini menarik diulas untuk mengenal kegiatan yang menjadi tradisi turun-temurun, namun kini hanya bisa kita jumpai, hanya di pinggiran kota Surabaya saja.

 

Kegiatan ini tak hanya sebatas masak-memasak sayur kupat, serta saling bertukar masakan dan hanya saling mencicipi masakan antar tetangga, terutama tetangga terdekat saja.

 

“Tradisi ini memang sudah ada sejak saya masih kecil, bayangkan saja, usia saya sekarang sudah 70 tahunan. Dan hanya di daerah sini dan beberapa daerah di Surabaya barat pinggiran yang masih melakukan tradisi ini. Jadi bukan hanya bertukar masakan, justru kami disini berbagi masakan dari rumah kerumah, dengan nyanyian yang disuarakan bersama dan selantang-lantangnya, serta, di dalam lagu ini ada harapan do’a kepada tuan rumah. Dan yang lebih utama, kerukunan warga kami,” tutur Sulami, salah satu sesepuh di kampung di Tandes Kidul ini.

 

Ada suatu senandung syair yang mengartikan nasehat dan pesan bijak orang tua. Lagu inilah yang membedakan tradisi ketupat di wilayah Tandes Surabaya barat dibandingkan wilayah lain.

 

“Siro Wak Iyo pager jaru. Kembang alang-alang meletus koyo deluwang, muluk-muluk koyok kapuk. Siro Wak Iyo pager jaru, kembang kemangi (nama orang yang ditemui) ojok nangis bengi, nek nangis bengi di dadar nyai. Siro Wak Iyo pager jaru,” demikian petikan syair tersebut.

 

Sejak pukul 06.00 WIB, puluhan anak-anak, ibu, bapak dan remaja berkumpul di rumah salah satu warga dengan membawa baskom maupun rantang. Kemudian beramai-ramai mendatangi rumah paling ujung sambil menyanyikan lagu khas tradisi ini.

 

Sang tuan rumah pun nampak kidmat mendengarkan lagu, yang mirip seperti Syair Walisongo. Karena dalam lirik lagu ini terdapat nasehat dan do’a. Setelah selesai melantunkan lagu, tuan rumah pun segera membagikan masakan secara merata di wadah yang sudah dibawa warga.

 

Dan proses pun berlanjut hingga merata di setiap rumah warga. “Senang rasanya bisa turut serta dalam kegiatan tradisi ini. Bangga akan masih berpegang teguh pada tradisi ketupat kali ini, apalagi ada beberapa tuan rumah yang membagikan sejumlah kecil uang selain masakan khas ketupat. Harapan saya, tradisi ini jangan sampai punah. Karena di dalamnya terdapat do’a dan kerukunan warga,” ujar Puput, salah seorang remaja putri.(Rb/Phk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *