Jakarta | Lampumerah.id – Boyamin Bin Saiman, SH, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sambangi Kantor Menko Polhukam Jakarta dan temui Prof. Mahfud MD, terkait rencana pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi serta mendesak agar Pemerintah dan DPR segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset dari perkara Korupsi.
Seperti diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset telah disusun pemerintah sejak 2019 namun terkesan ditolak oleh DPR. Pengesahan UU Perampasan Aset saat ini sangat diperlukan guna mengimbangi UU Pemasyarakatan yang telah memberikan pengurangan hukuman napi korupsi ( remisi, asimilasi dan bebas bersyarat ).
“Masyarakat sebagai korban korupsi tidak berdaya dan hanya menangis atas pengurangan hukuman napi koruptor. Masyarakat akan bangkit semangat apabila koruptor dimiskinkan dengan cara dirampas seluruh hartanya sehingga ketika keluar penjara akan menjadi orang miskin. Untuk itulah UU Perampasan Aset harus segera disahkan dengan cara harus ada perintah dari Mahkamah Konstitusi,” papar Boyamin, dalam rilis yang diterima redaksi Jumat, (16/9/22)
Disampaikan Boyamin, MK pernah memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk membahas dan mengesahkan sebuah Undang-Undang maksimal dalam 2 tahun yang mengatur Asuransi Usaha Bersama sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 dan Nomor 32/PUU-XVIII/2020.
Berdasarkan yurisprodensi tersebut MAKI berpendapat seharusnya Mahkamah Konstitusi memrintahkan DPR melakukan pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset yang telah diajukan Pemerintah sejak 2019.
Tujuan Kedua,
MAKI juga menyampaikan laporan dugaan Korupsi PNBP dan/atau Manipulasi Pengapalan dan Penjualan Ilegal Batubara untuk Ekspor oleh sebuah perusahaan tambang batubara ( PT. MU ) di Kalimantan Timur yang diduga merugikan Negara sedikitnya kurang lebih sebesar Rp. 9,3 Triliun. Untuk itu, MAKI juga meminta Menko Polhukam melaporkan kasus ini kepada Presiden Joko Jokowi, serta menyerahkannya kepada aparat penegak hukum untuk segera diusut.
Sesuai temuan MAKI pada tahun 2021, perusahaan tambang batubara tersebut mendapatkan ijin penambangan dalam setahun dalam bentuk persetujuan atas Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) total sebanyak 14.520.602 MT. Akan tetapi realisasi penjualan pada tahun 2021 diduga mencapai sebanyak 22.739.419 MT, berdasarkan data pengapalan di Pelabuhan/KSOP yang berkesesuaian dengan jumlah (quantity) pada aplikasi Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI) di Ditjen Minerba.
Sehingga terdapat penjualan ekspor batubara yang transaksinya tidak dilaporkan (un-reporting) sebanyak 8.218.817 MT, dengan modus operandi seolah-olah jenis pelaporan transaksi dalam system Moms masih dalam status provisional dan/atau belum final.
Diduga perusahaan tambang batubara tersebut bersekongkol dengan DA, penangungjawab pengelola admin Moms dan IT pada Ditjen Minerba untuk menghapus dan/atau merubah dan/atau memakai kembali RKAB, LHV, NTPN dan COA yang terdapat dalam Modul Verifikasi Penjualan (MVP) milik Ditjen Minerba yang sudah terpakai dengan jumlah sesuai yang dikehendaki.
Batubara sebanyak 8.218.817 MT yang berstatus illegal, berdasarkan pasal 4 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah Milik Negara dan/atau merupakan Kekayaan Milik Negara.
Kerugian Negara pada cluster PNBP kurang lebih sebesar Rp. 2.200.550.636.353,-. Sedangkan kerugian negara pada cluster keuntungan yang tidak sah dari hasil penjualan batubara untuk ekspor sebanyak 8.218.817 MT adalah senilai US$ 493.129.020 atau setara dengan Rp. 7,15 Triliun sehingga secara keseluruhan potensi kerugian adalah Rp. 9,3 Trilyun.
Pada cluster domestic market obligation/DMO, MAKI menemukan pula dugaan penyimpangan. Berdasarkan data pada Ditjen Minerba, perusahaan tambang batubara tersebut mendalilkan, pada tahun 2021 telah memenuhi kewajiban DMO sebanyak 4.095.243 metric ton. Padahal untuk tahun 2021, PLN hanya menerima DMO dari perusahaan tambang tersebut sebanyak 1.398.318 metric ton.
MAKI memandang perlu dilakukan penyelidikan yang mendalam oleh aparat penegak hukum atas kemungkinan terjadinya dugaan penyimpangan kewajiban DMO sebanyak 2.696.925 metric ton yang dialibikan disetorkan ke industri-industri dalam negeri. Hal ini dapat dipersamakan dengan kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit (CPO) yang ditangani Kejaksaan Agung terkait dugaan manipulasi DMO.
Selain itu, MAKI meminta Menkopolhukam untuk mengkoordinasikan penegakan hukum atas dugaan tambang batubara ilegal yang marak terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, tambang ilegal nikkel di Sulawesi Tengah, dan tambang ilegal Timah di Bangka Belitung.