Surabaya|Lampumerah.id – Gema kumandang takbir Idul Fitri 1442 Hijriyah menjadi tanda kemenangan tersendiri bagi anak-anak dari pinggiran Kota Surabaya yang masih menjalankan tradisi unjung-unjung.
Suara adzan Maghrib berkumandang di hari puasa Ramadhan terakhir di tahun kedua pandemi ini. Azan juga terdengar lantang dari pengeras suara di Musholla Baiturrahman, salah satu Musholla di Tandes kidul Surabaya, Rabu (12/5/2021) malam. Disusul suara takbir idul Fitri yang dikumandangkan penuh bersemangat.
Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB, nampak beberapa anak-anak laki dan perempuan sudah menuntaskan santap berbuka terakhir mereka juga Salat Maghrib. Anak-anak ini sudah berpakaian rapi, ada yang mengenakan tas kecil diselempangkan di bahu. Rata-rata usia mereka, mulai usia taman kanak-kanak hingga SD Kelas enam. Sebagian besar dari anak-anak ini, sudah mengenal satu dan lainnya, biasanya teman satu kampung.
Rupanya, mereka sudah mempersiapkan diri untuk meneruskan tradisi unjung-unjung di setiap malam jelang 1 Syawal. Tanpa komando, mereka sudah kompak untuk berkumpul di salah satu sudut gang. Sambil ikut takbir keliling kecil-kecilan di jalan gang kampung, mereka mulai berjalan.
Situasi takbir keliling dan unjung-unjung kali ini memang tidak seramai dan semeriah sebelum datangnya pandemi Covid-19. Ramadhan tahun lalu bahkan cenderung sepi. Selain itu, pemerintah setempat juga melarang untuk tidak takbiran keliling dengan banyak kerumunan. Namun, takbiran keliling kecil-kecilan hanya sebagai syarat dan penanda tradisi tetap dijalani.
Apalagi, di era medsos dan digital, rasanya tradisi lawas ini mulai meluntur, kegiatan anak-anak pinggiran kota Surabaya di wilayah Tandes kidul ini hanya sebagian yang tersisa.
Nah, kembali ke kelompok anak-anak tadi yang sudah berkumpul. Sebagian besar dari mereka, lebih memilih berkelompok dalam mendatangi satu persatu rumah warga, dan sebagian kecil lebih memilih didampingi saudara atau orangtuanya.
Menurut penuturan salah satu warga, kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang masih dipertahankan di saat malam sebelum salat id pada pagi harinya. Karena di beberapa wilayah lain di Surabaya, hal ini sudah tidak dilakukan lagi.
“Jadi di daerah Tandes ini, setiap perayaan idul Fitri selalu diselingi 2 tradisi, yang satu tradisi unjung-unjung anak kecil ke rumah-rumah warga, juga tradisi kupatan, yang dikenal dengan Siro Wak Iyo,” ucap Jamil, salah satu tokoh masyarakat sekitar.
Menurut dia, dalam unjung-unjung pun, tidak ada keharusan bahwa setiap rumah yang pintunya terbuka, harus bersedia dikunjungi anak-anak tersebut, dan wajib memberikan sebagian rejeki berupa uang dalam berbagai nominal kepada mereka.
“Ya, pemberian rejeki berupa uang itu beragam sesuai kemampuan. Ada yang memberikan dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, tergantung kemampuan. Jika tidak bersedia dikunjungi oleh anak-anak ini, biasanya warga lebih memilih menutup pintu rumah mereka,” ujar salah satu imam musholla Baiturrahman ini.
Terkadang, kegiatan unjung ini juga kembali berlanjut hari berikutnya, yakni setelah Salat id. Mereka kembali mendatangi beberapa rumah tetangga atau orang-orang yang mungkin belum didatangi ataupun yang terlewat.
Tradisi Unjung-unjung menjadi kemenangan tersendiri bagi anak-anak. Mereka mengais rejeki rupiah yang bisa mereka tabung ataupun untuk membeli kebutuhan tertentu.
Fachriza salah satunya, anak kelas enam Sekolah dasar ini mengaku hanya memperoleh rejeki unjung-unjung yang cukup lumayan. Baru semalam dia berjalan di gang dan berkunjung dia dapat Rp 200.000. Bila sebelum pandemi, dia mengaku bisa dapat berlipat lebih banyak.
“Alhamdulillah. Bisa dipakai tambah-tambah untuk tabungan di rumah. Biasanya nggak langsung buat beli-beli, dicelengi dulu,” aku dia.
Anak penggemar sepak bola ini mengatakan, bahwa tradisi seperti ini, sudah dialaminya sejak masih TK. Tak hanya dari rumah tetangga sekitar tapi juga rumah kerabat dan sanak famili.
“Seingat saya sudah sejak kecil, selalu melakukan tradisi unjung-unjung ini. Dan selalu memperoleh rejeki yang banyak, itu Dari warga sekitar rumah nenek saya saja , belum pemberian saudara saya, juga kakek dan nenek saya,” ujarnya.
Tradisi unjung-unjung ini, bisa dibilang sangat unik. Bagi warga sekitar pun sudah seperti hafal, mereka penghuni rumah biasanya sudah menyiapkan uang recehan atau pecahan kecil. Kadang-kadang ada yang sudah sengaja menukarkan uangnya dengan uang baru yang disiapkan satu Minggu sebelumnya.
Semoga tradisi ini tetap terjaga dan dilestarikan. Selamat meraih kemenangan warga Surabaya dan anak-anak pinggiran! Selamat berlebaran! (Erb/Phk)