Keprihatinan Terhadap Peredaran Skincare Beretiket Biru: Sebuah Tuntutan untuk Perlindungan Konsumen

Jakarta, Lampumerah.id – Dalam beberapa waktu terakhir, skincare telah menjadi produk yang semakin penting bagi masyarakat dalam merawat kesehatan dan kecantikan kulit.

Namun, di balik popularitasnya, konsumen harus tetap waspada saat memilih produk skincare. Baru-baru ini, muncul kabar mengejutkan mengenai peredaran skincare beretiket biru yang diduga tidak memenuhi standar yang berlaku. Produk ini, yang dikenal dari merek ternama, ternyata dijual di tempat-tempat umum, seperti mall dan toko kelontong.

Fenomena ini mencuat ke permukaan, khususnya terkait dengan penjualan oleh Thera Beauty, yang disinyalir melakukan praktik penjualan tanpa memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan.

“Etiket biru tidak boleh dianggap remeh. Ini adalah penandaan untuk obat yang seharusnya hanya diresepkan dokter dan diracik oleh apoteker,” ujar M. Hapi, Pengurus Perisai, menyoroti pentingnya keterlibatan profesional medis dalam proses ini.

Penting untuk dipahami bahwa etiket biru merujuk pada obat luar seperti salep dan krim yang hanya boleh digunakan setelah adanya konsultasi dengan dokter.

Dalam konteks ini, skincare beretiket biru menjadi obat resmi yang harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain:

1. **Resep Dokter**: Obat racikan ini hanya boleh diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi kesehatan pasien.

2. **Pengolahan oleh Apoteker**: Obat yang diresepkan harus diracik oleh apoteker yang berlisensi.

3. **Distribusi Melalui Apotek Resmi**: Obat tersebut wajib dikeluarkan oleh apotek yang terdaftar dan memiliki sertifikat resmi.

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 196 dan Pasal 197 mengatur sanksi bagi mereka yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan produk farmasi yang tidak memenuhi standar.

“Pelanggaran ini dapat berakibat pada hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda mencapai Rp1,5 miliar,” jelas Mansyur, S.H, Ketua Bidang Hukum dan HAM.

Dalam upaya melindungi konsumen, kami, sebagai perwakilan masyarakat, mendesak Komitmen Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPOM RI, L. Rizka Andalusia, untuk mengambil langkah tegas dalam menertibkan peredaran skincare beretiket biru yang beredar tanpa pengawasan. Plt. Kepala BPOM telah menegaskan bahwa produk beretiket biru adalah obat racikan yang jumlahnya terbatas dan tidak untuk diproduksi massal.

Namun, kami mencatat adanya dugaan pelanggaran dalam praktik penjualan di masyarakat, yang menunjukkan adanya potensi kolusi antara dokter dan pengusaha skincare.

“Kami khawatir ada pihak-pihak yang mengabaikan peran apoteker dan apotek resmi, yang seharusnya menjadi bagian integral dalam proses produksi dan distribusi,” tambah Hapi.

Untuk itu, kami menuntut tindakan konkret, antara lain:

1. Meminta BPOM dan aparat penegak hukum untuk memberantas mafia kosmetik yang menjual skincare beretiket biru tanpa resep dokter.

2. Meminta penegakan hukum yang tegas terhadap penjualan krim beretiket biru yang diduga dilakukan oleh Thera Beauty.

3. Melakukan penyelidikan terhadap PT Ratanansha Purnama Abadi atas dugaan produksi yang tidak sesuai ketentuan.

4. Memanggil dan memeriksa Heni, pemilik PT Sagara, terkait dugaan pelanggaran dalam penjualan produk krim beretiket biru.

5. Mencabut izin edar produk skincare Thera Beauty yang diduga melanggar aturan.

Kepedulian kami terhadap perlindungan konsumen harus diutamakan agar masyarakat tidak terjebak dalam praktik penjualan yang merugikan.

Melalui langkah-langkah ini, diharapkan peredaran skincare beretiket biru dapat tertib dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, demi keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru