KETIPU… Kabar PM Italia Nangis terkait Corona, Ternyata Hoaks

Lamer | Jakarta – Foto Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, menangis karena rakyatnya kena corona, viral di dunia maya. Warga dunia pun bersimpati. Tapi, kurang ajarnya… ternyata itu hoaks.

Dikutip dari Indiatoday.com, foto PM Italia Giuseppe Conte itu berasal dari situs web ‘The Daily Bihar’. Tapi, ternyata itu adalah hoax.

Dalam artikel tersebut, Giuseppe Conte tidak bisa mengendalikan air matanya atas meningkatnya jumlah kematian akibat Covid-19 di negaranya.

Disebut juga Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte telah kehilangan semua harapan. Pokoknya, dia digambarkan sedih sekali.

India Today Anti Fake News War Room (AFWA) di India, Selasa (24/3/2020) hari ini menemukan bahwa pos viral itu menyesatkan.

Laki-laki yang terlihat dalam gambar itu bukan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte. Melainkan Presiden Brasil Jair Bolsonaro. Berarti, warga dunia yang ketipu tidak tahu wajah PM Italia sebenarnya.

Foto itu (Presiden Brasil Jair Bolsonaro) diketahui diambil pada Desember 2019 ketika Bolsonaro emosional, mengingat sebuah insiden yang dialaminya.

Penyelidikan AFWA

Parahnya, posting yang menyesatkan itu telah dibagikan oleh ribuan pengguna media sosial.

Dengan bantuan pencarian gambar terbalik Google, AFWA menemukan situs web Brasil ‘PODER 360’ yang menggunakan gambar viral dalam sebuah artikel pada Desember 2019.

Sesuai terjemahan artikel itu: Bolsonaro menjadi emosional selama acara ‘Thanksgiving’ di kantornya.

Bolsonaro mengingat serangan pisau selama kampanye pemilihan pada tahun 2018. AFWA juga menemukan video YouTube dari acara tersebut.

Video itu diunggah oleh saluran terverifikasi yang menunjukkan Bolsonaro menjadi emosional dan menangis.

Foto Bolsonaro inilah yang kemudian diberi caption sebagai PM Italia, Giuseppe Conte.

AFWA tidak dapat menemukan laporan berita yang kredibel yang mengatakan PM Italia Giuseppe Conte mogok karena kematian Covid-19 di negaranya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang terlihat menangis dalam gambar viral tersebut adalah Presiden Brasil Jair Bolsonaro dan bukan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte.

Selain itu, potret tersebut diambil beberapa bulan lalu dan tidak ada hubungannya dengan virus corona. Sebab, saat itu virus corona belum menghebohkan seperti belakangan ini.

Hotman Paris Simpati PM Italia Menangis

Di antara warga dunia yang tertipu hoaks itu adalah Hotman Paris Hutapea. Dia bersimpati pada PM Italia.

Rasa simpati itu diungkapkan Hotman Paris lewat akun instagramnya @hotmanparisofficial; pada Selasa (24/3/2020).

Dalam postingannya, Hotman Paris mengaku terkejut ketika mengetahui Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte menangis.

Apalagi menangisnya Conte, karena menyerah melawan virus corona. Mengingat warga Italia korban tewas corona 1.529 orang dalam tiga hari belakangan.

“Perdana Menteri Italia menangis menyerah lawancorona! Dalam 3 hari meninggal 1529 orang itali!!,” tegas Hotman Paris..

Hotman Paris meminta kepada seluruh pihak untuk menjadikan kasus virus corona di Italia menjadi pelajaran.

Hotman paris pun meminta agar masyarakat untuk mengisolasi diri di rumah guna mencegah penyebaran virus corona..

“Makanya tolong semua yg baca postingan ini agar kampanye ke semua orang: Jangan keluar rumah!!,” tegasnya.

Hotman Paris tertipu setelah kabar Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte menangis diketahui sebagai hoax.

Terkait itu, wartawan meminta konfirmasi Hotman Paris melalui pesan singkat dan sambungan telepon. Tapi belum dijawab.

Update Korban Tewas di Italia

Italia melaporkan 602 kematian terbaru akibat virus korona.

Jumlah itu, menurut Update Aljazerra, membuat angka total kematian di Italia karena Covid-19 mencapai 6.077 orang, tertinggi di dunia.

Sehari sebelumnya negara itu mengumumkan 651 meninggal dunia pada hari Minggu sehingga totalnya menjadi 5.476.

Jumlah itu turun dari angka kematian akibat corona pada hari Sabtu yakni 793 orang meninggal.

Artinya dalam tiga hari terdapat 2.046 orang Italia meninggal dunia karena Virus Corona.

Italia pada Kamis (19/3/2020) sudah menyalip China sebagai negara yang paling parah terkena dampak virus corona.

Guna menekan angka kematian, seperti dilaporkan The Guardian, Italia telah melarang setiap gerakan di dalam negara dan menutup semua bisnis yang tidak penting.

Supermarket, bank, apotek, dan kantor pos adalah di antara bisnis yang masih diizinkan beroperasi dengan aturan baru.

Di Inggris, jumlah orang yang telah meninggal karena COVID-19 bertambah 54 orang menjadi 335 orang di antara 6.650 kasus.

Perdana Menteri Boris Johnson memerintahkan penduduk di seluruh negeri untuk tinggal di rumah.

Di AS, jumlah kasus melonjak melewati 35.000, dengan jumlah kematian 495 orang, menurut data Universitas John Hopkins.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan bahwa “pandemi ini semakin cepat”

Dibutuhkannya 67 hari untuk kasus mencapai angka 100.000 secara global, 11 hari untuk kasus mencapai 200.000 dan hanya empat hari untuk kasus mencapai 300.000.

Penyebab Kematian Tinggi di Italia

Meski bermula dari China, salah satu negara dengan kasus kematian tertinggi akibat virus corona baru adalah Italia.

Data hari ini total kematian di Italia karena Covid-19 mencapai 6.077 orang, tertinggi di dunia.

Memang, China memiliki jumlah orang terinfeksi virus corona dua kali lipat dibanding Italia, mencapai 81.250 kasus. Namun, jumlah kematiannya lebih rendah, hanya 3.253 kasus.

Ini berarti, angka kematian di Italia mencapai 8% dibandingkan dengan China yang cuma 4%. Sementara Jerman yang memiliki 13.000 kasus infeksi hanya memiliki 42 kasus kematian atau 0,3%.

Walter Ricciardi, juru bicara Menteri Kesehatan Italia, mengatakan, angka kematian di negeri Menara Pisan akibat demografinya. Italia memiliki populasi manula terbanyak kedua di dunia.

“Usia pasien yang meninggal di rumahsakit mayoritas adalah manula, dengan rata-rata usia 67 tahun,” kata Ricciardi seperti dikutip Telegraph, Senin (23/3).

Sebuah studi yang JAMA Network lakukan baru-baru ini menyebutkan, hampir 40% infeksi dan 87% kematian di Italia terjadi pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun.

Lalu, populasi manula yang tinggi berpengaruh terhadap terbatasnya fasilitas di rumahsakit yang tersebar di negara tersebut.

Pasien yang berusia lanjut memiliki kebutuhan untuk fasilitas yang harus memadai dan lengkap. Jaringan rumahsakit di Italia kewalahan menghadapi hal ini.

Selain itu, Ricciardi menyebutkan, mortality rate yang tinggi di Italia lantaran cara dokter atau petugas medis menghitung angka kematian

“Semua pasien yang meninggal di rumahsakit yang menangani virus corona dihitung sebagai pasien meninggal karena virus corona,” ujarnya.

Ricciardi menuturkan, berdasarkan reevaluasi yang National Institute of Health lakukan, hanya 12% dari total pasien yang meninggal akibat virus corona.

“Sementara 88% pasien memiliki setidaknya satu penyakit bawaan. Banyak yang memiliki dua atau tiga,” tambahnya.

Skeptisisme terhadap data

Para ilmuwan lainnya juga memiliki skeptisisme terhadap data kematian di Italia. Mengutip Telegraph, Martin McKee, Profesor di European Public Health, London School of Hygiene and Tropical Medicine, menyebutkan, Italia belum memiliki perhitungan terhadap gejala ringan virus corona.

Jika lebih banyak tes dilakukan kepada orang yang asimptomatik (tidak menunjukkan gejala), maka angka kematian dirasa akan menurun.

“Terlalu dini untuk membandingkan Italia dengan negara-negara lain di Eropa. Kita tidak tahu berapa banyak orang asimptomatik yang menyebarkan virusnya,” sebut McKee.

IIlmuwan lain menilai, ada faktor lain terkait angka kematian yang tinggi akibat virus corona di Italia. Faktor ini termasuk angka yang tinggi terhadap konsumsi rokok dan polusi udara.

Itu berdasarkan data mayoritas pasien yang meninggal berasal dari wilayah Lombardy bagian Utara Italia, yang memiliki kualitas udara cukup buruk dibanding daerah lainnya.

Mike Ryan, Health Emergencies Programme Executive Director Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan, para dokter di Italia kewalahan menangani pasien sebanyak itu.

“Dokter di Italia tidak hanya melayani satu atau dua pasien, melainkan sampai 1.200 pasien,” ungkapnya seperti dilansir Telegraph.

Kondisi ini diperburuk banyak petugas medis yang terinfeksi dan harus mengisolasi diri. Sebanyak 2.000 petugas medis di Italia terjangkit virus corona.

“Dibanding negara-negara lainnya di Eropa, Italia memiliki jumlah ventilator dan petugas medis yang sangat sedikit,” imbuh Ryan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *