lampumerah.id – Dalam dunia keuangan internasional dikenal istilah financial conglomerate atau konglomerasi keuangan yang artinya sejumlah perusahaan keuangan yang dikendalikan oleh suatu kelompok tertentu Kelompok tersebut biasanya memiliki kekuatan modal yang luar biasa, kuat beserta jejaring bisnisnya, selain kekuatan lain seperti kekuatan politik. Perusahaan-perusahaan keuangan yang dimaksud antara lain bank, perusahaan pembiayaan, asuransi dan perusahaan bursa efek dan lain sebagainya.
Di Indonesia, konglomerasi keuangan merupakan satu isu yang mendapatkan perhatian tersendiri dari regulator industri keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Regulator mendefinisikan konglomerasi keuangan sebagai lembaga jasa keuangan yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan atau pengendalian. Kondisi sektor jasa keuangan yang sehat dan aman merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal dalam perekonomian nasional.
Regulator berupaya menciptakan industri jasa keuangan yang sehat serta memiliki daya saing tinggi. Dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Nomor 45/POJK.03/2020 Tentang Konglomerasi Keuangan menyatakan bahwa penataan konglomerasi keuangan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung efektivitas pengawasan berdasarkan risiko yang sesuai dengan praktik-praktik terbaik secara internasional. Kriteria konglomerasi keuangan antara lain: Total aset grup mencapai lebih dari Rp.100 triliun dan Kegiatan bisnis lebih dari satu jenis lembaga jasa Keuangan
Konglomerasi di satu sisi merupakan suatu tuntutan bagi suatu entitas untuk dapat mengembangkan bisnis keuangannya dan sebagai langkah untuk mencari potensi bisnis keuangan baru disamping bisnis keuangan utamanya, namun di sisi lain, konglomerasi keuangan dapat berdampak pada penguasaan bisnis keuangan oleh beberapa kelompok terhadap sebagian besar asset bisnis jasa keuangan.
Menurut data Bank Dunia, konglomerasi keuangan di Indonesia menguasai 88% asset keuangan namun menurut OJK, konglomerasi keuangan di Indonesia menguasai asset keuangan yang semula 57,8% meningkat menjadi 61,0% dari total asset keuangan atau kurang Rp. 6.100 triliun. Kondisi ini menunjukkan paling tidak sebanyak 61% asset keuangan dikelola oleh beberapa konglomerasi keuangan yang terdiri dari beberapa perusahaan induk pengendali. Sebaran risiko yang cukup besar (lebih dari 50%) perlu mendapat perhatian khusus terutama dengan berbagai isu global seperti perang antara Rusia dan Ukraina yang sampai sekarang belum selesai serta beberapa negara yang mulai masuk ke dalam resesi ekonomi seperti Amerika Serikat dan Jerman .
Dalam rangka menciptakan industri jasa keuangan yang sehat dan memiliki daya saing yang tinggi diperlukan langkah-langkah untuk menata struktur Konglomerasi Keuangan, antara lain melalui penetapan kriteria Konglomerasi Keuangan, yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi konglomerasi Keuangan serta bagaimana Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan secara Terintegrasi dan menjadi tantangan tersendiri pasca di sahkan UU P2SK.
TANTANGAN PEMERINTAH
Perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi produk serta aktivitas, lembaga jasa keuangan telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar sektor jasa keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun kepemilikan dalam suatu Konglomerasi Keuangan sehingga menyebabkan peningkatan eksposur risiko industri jasa keuangan di Indonesia.
Jumlah Konglomerasi Keuangan yang ada saat ini cukup banyak dengan disparitas yang tinggi antar Konglomerasi Keuangan, sehingga pelaksanaan pengawasan kurang efektif dan efisien, Otoritas Jasa Keuangan sendiri di tugaskan untuk mengawasi seluruh akselerasi dan aksi konglomerasi Keuangan di Indonesia hal tersebut sudah termuat dalam UU P2SK yang beberapa waktu lalu sudah disahkan.
Amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) terhadap perubahan terutama terkait beberapa hal diantaranya ; Struktur Konglomerasi Keuangan pasal 205; Point A. PPIK ( Perusahan Induk Konglomerasi Keuangan ) merupakan terminologi baru dalam menetapkan dan mengklasifikasikan konglomerasi Keuangan (KK) yang dimana pengendali konglomerasi harus membentuk Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) atau financial holding company. dan terkait Anggota Konglomerasi Keuangan Pasal 205 point B. ada tambahan terkait jenis/Klasifikasinya tidak hanya bank,Perusahan Asuransi (Syariah,Reasuransi,dan Reasuransi Syariah), Perusahan Efek , Perusahan Pembiayaan saja tapi tambahan terkait Lembaga Jasa Keuangan Lainya serta entitas non-LJK yang ditetapkan oleh OJK sebagai bagaian dari Konglomerasi Keuangan .
UU P2SK mengamankan terkait dengan Pengawasan Terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan, pasal 6 dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan Indonesia melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap sector Keuangan secara terintegrasi melakukan assemen dampak sistemik Konglomerasi Keuangan .Berdasarkan hal tersebut, Siklus pengawasan Terintergrasi berdasarkan risiko terhadap Konglomerasi Keuangan, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan telah menyusun ROADMAP OTORITAS JASA KEUANGAN TAHUN 2022-2027 yang membagi 6 pelaksanaan tahapan pengawasan yaitu terdiri dari 1. pemahaman terhadap konglomerasi Keuangan 2. penilaian resiko dari tingkat kondisi Konglomerasi Keuangan 3. perencanaan pelaksanan konglomerasi Keuangan 4. koordinasi pemeriksaan berdasarkan resiko antar masing-masing bidang 5. pengkinian profil risiko dari tingkat Kondisi Konglomerasi Keuangan 6. Tindakan Pengawasan dan Pemantauan
Oleh karena itu , OJK sebagai Lembaga pengawas Keuangan memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus di laksanakan secara sinergi , kolaboratif dan transformasi mengenai Konglomerasi Keuangan yang setiap waktu, bulan bahkan tahun selalu mengalami perubahan
baik dalam komposisi pengendali, produk/layanan jasa Keuangan terbaru lintas sector yang dapat mempengaruhi potensi peningkatan eksposur risiko, dan sumber risiko terkait dampak yang di timbulkan karena lemahnya pengawasan sehingga dapat mengakibatkan kerentanan krisis pada sector jasa Keuangan berdampak pada perekonomian nasional, ini menjadi hal penting OJK mampu dan harus mengembangkan sistem pencegahan dan pengawasan terintegrasi sejak dini dari mulai hulu sampai hilir terkait konglemerasi Keuangan sehingga ke depan mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi sistem Keuangan Indonesia sesuai dengan amanat U2PSK.
Penulis : Cornelius Corniado Ginting, S.H, Founder Center of Economic and Law Studies Indonesia Society ( CELSIS)