Kapolri Cabut TR Arogansi (Pers)

Oleh: Djono W. Oesman

Kapolri kelihatan kagok. Pada Senin (5/4/21) menerbitkan Telegram Rahasia (TR), esoknya dicabut lagi. Soal larangan media massa menayangkan tindak kekerasan polisi. Seolah, Polri membungkam pers. Padahal, seumpama TR itu tidak dicabut, juga tidak tampak Polri membungkam pers.

TR itu nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021. Diteken Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Ditujukan kepada seluruh Polda, khususnya bidang Humas. Isinya terkait kegiatan kehumasan Polri.

Sedangkan, pencabutan TR itu diterbitkan TR baru. Yakni nomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 diteken pejabat yang sama dengan TR awal.

Isi TR awal, intinya mengimbau, agar media massa tidak menyiarkan atau memuat berita yang menggambarkan arogansi dan kekerasan yang dilakukan polisi. Sebaliknya, media massa diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

Juga melarang polisi mengajak pers, ketika pengejaran atau penangkapan pelaku pelanggar pidana. Sehingga pers bisa menyiarkan arogansi dan tindak kekerasan oleh polisi (terhadap terduga pelaku kejahatan).

Juga, melarang polisi mengajak pers, ketika rekonstruksi tindak kriminal. Yang menggambarkan arogansi dan tindak kekerasan oleh polisi. Sebaliknya, membolehkan media massa menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

TR itu sudah dicabut Kapolri, Selasa (6/4/21). “Sehubungan dengan referensi di atas, kemudian disampaikan kepada kepala bahwa ST Kapolri sebagaimana referensi nomor empat di atas, dinyatakan dicabut/dibatalkan,” tulis Kapolri dalam telegram pencabutan telegram.

Referensinya, merujuk Undang-undang nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Juga, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri.

Juga, Peraturan Komisi Penyiaran Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Pelaku Penyiaran. Dan terakhir Surat Telegram Kapolri nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 5 April 2021.

Divisi Humas Polri juga menyampaikan permintaan maaf, jika terjadi miskomunikasi dan membuat ketidaknyamanan bagi kalangan media massa.

Polri jadi tampak terlalu santun. Terhadap pers. Padahal, TR kependekan Telegram Rahasia. Hanya konsumsi internal Polri. Ditujukan ke Polda-Polda. Tidak bisa mengatur lembaga atau profesi di luar Polri. Mirip standar operasional prosedur (SOP).

Maka, munculnya pencabutan TR, pasti ada latar belakangnya. TR yang kependekan Telegram Rahasia, berubah jadi Tidak Rahasia. Karena dipublikasi pers, kemarin.

Ketua Komisi III DPR RI (antara lain membidangi Polri), Herman Hery menyebut telegram tersebut bersifat internal.

“Saya melihat TR ini bersifat imbauan untuk internal. Jika kita lihat, sering kali aksi teror menyasar polisi akibat video-video yang beredar di publik, yang berhubungan dengan upaya-upaya paksa oleh kepolisian,” ujar Herman Hery dalam keterangan pers, Selasa (6/4/21).

Herman menganalisis telegram Kapolri itu untuk mencegah aksi-aksi teror yang menyasar ke polisi. “Akibat video-video yang beredar, dan dipotong, seolah-olah berhubungan dengan arogansi polisi,” jelasnya.

Kenyataan di lapangan, wartawan dan polisi bekerjasama. Sebagai mitra. Polisi memburu, menangkap penjahat. Wartawan menyiarkannya ke publik. Siaran, atau berita kriminal, berguna sebagai:

1) Warning modus kejahatan, agar masyarakat waspada. 2) Efek memalukan penjahat, sebelum ia kena efek jera hukuman penjara, atau tembakan polisi. 3) Indikator kriminalitas, bagi investor mengantisipasi bisnisnya terkait bentuk dan volume kejahatan yang terjadi sehari-hari.
Di nomor dua, polisi berhak menembak penjahat yang melawan. Hukum internasional menyatakan begitu. Nah, kalau polisi tidak diberi legitimasi menembak, atau bertindak keras, terhadap terduga penjahat, ya berat… Penjahat bakal berani ‘menginjak’ polisi. Akhirnya, keamanan masyarakat tidak terjaga.

Bahwa, polisi salah tangkap, salah tembak, salah orang yang semula diduga penjahat, ini menyangkut profesionalitas. Polisi harus terdidik, terlatih, berkualitas baik. Sehingga menghasilkan ‘feeling’ yang akurat.

Juga tergantung pada gelagat orang yang diduga penjahat. Logikanya, orang tidak bersalah, tidak mungkin melawan saat ditangkap. Ia akan menurut dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa, dibuktikan dugaan kejahatannya. Jika ia melawan saat ditangkap, pasti polisi akan bertindak keras.

Saya sebagai wartawan, sering melihat wartawan aleman, kolokan, manja. Dikira, wartawan boleh melakukan segalanya. Apa saja. Atas nama kebebasan pers. Lalu, seperti anak kecil, kalau dilarang, ngambek. Mencari cara membalas, misalnya, menayangkan, atau menulis, tindak kekerasan polisi terhadap terduga penjahat.

Model wartawan tidak cerdas begini, sangat banyak. Tidak cerdas, suka ngambek. Tidak cerdas, sebab, dengan menyiarkan sikap keras polisi terhadap terduga penjahat, sama saja memberi angin kepada terduga penjahat. Dan, jika terbukti bahwa terduga itu adalah penjahat beneran, berarti wartawan memberi angin kepada penjahat. Membela penjahat. Sangat bahaya. Hanya gegara karakter kekanak-kanakan, wartawan mengorbankan rasa aman masyarakat Indonesia.

Beda dengan polisi, yang terdidik secara institusional, dan rutin, wartawan tidak begitu. Wartawan tidak terdidik, secara rutin, bahwa tugas-tugasnya berorientasi membela negara dan masyarakat Indonesia. Tidak ada didikan begitu. Dewan Pers tidak mewajibkan itu. Bebas saja.

Akibatnya, di lapangan wartawan bisa berbenturan dengan mitranya: Polisi. Akibat arogansi wartawan. Jadi terbalik. Bukan arogansi polisi.

Karena, wartawan menayangkan, atau memberitakan, potongan peristiwa bahwa polisi bersikap keras. Menembak terduga penjahat. Tanpa menyebut, mengapa dan bagaimana konteks peristiwa itu terjadi.

Karena, sebelum wartawan menayangkan itu, atau memuat berita tersebut, ada latar belakang ngambek terhadap polisi, tadi. Misalnya, wartawan dilarang polisi masuk ke TKP (Tempat Kejadian Perkara). Tanpa pengetahuan kriminologi, orang masuk TKP bisa merusak barang bukti. Atau, misalnya, wartawan berpihak kepada pendemo, menayangkan polisi memukul pendemo.

Sebenarnya bukan polisi yang arogan. Melainkan wartawan. Seumpama polisi arogan, bisa langsung diperiksa Propam. Jika terbukti bersalah, diadili. Dihukum. Sebaliknya, potongan-potongan sikap keras polisi yang ditayangkan wartawan, tidak ada lembaga yang mengadili. Tidak fair.

Jadi, Kapolri terlalu santun dengan mencabut TR yang berusia sehari, itu. Kelihatan, bingung. Bagaimana caranya mengimbau, agar wartawan tidak menayangkan kekerasan polisi terhadap terduga penjahat.

Sedangkan, kini era reformasi. Era bebas. Yang diisi oleh wartawan kolokan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *