Oleh: Djono W. Oesman
“Lone wolf,” kata Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tentang Zakiah Aini (25) penyerang Mabes Polri tertembak mati. Sebaliknya, “Surat bomber Makassar, dengan surat penyerang Mabes Polri, sama,” kata Pakar Multimedia, Roy Suryo. Artinya, kontradiksi antara: Pelaku tunggal vs teroganisir. Mana yang benar?
Lone wolf, artinya hewan (serigala) yang hidup menyendiri. Bisa karena terusir dari kelompok. Atau memisahkan diri dari kelompok.
Sebab kodrati manusia adalah makhluk sosial. Zoon politicon, kata Aristoteles (Filsuf Yunani, 384 SM – 322 SM). Homo homini socius, kata John Adam Smith (Filsuf Skotlandia, 1723 -1790.
Lone wolf yang dimaksud Kapolri, adalah teroris yang bertindak sendirian. Tidak diorganisir, atau didukung organisasi terorisme. Tidak terkait struktur organisasi, misalnya ISIS
Di dunia terorisme, lone wolf seseorang beraksi sendirian, tanpa dukungan organisasi terorisme (Hamm Mark S, Spaaij Ramon, The Age of Lone Wolf Terrorism, Mei 2017).
Mark S. Hamm, profesor kriminologi Indiana State University, Amerika Serikat. Ramon Spaaij, profesor sosiologi Victoria University, Melbourne, Australia. Mereka menyusun buku tersebut hasil penelitian terorisme di Timur Tengah.
Dikutip dari dokumen US Homeland Secuty, Mark Hamm mempelajari tentang terorisme lone wolf di Amerika Serikat. Dia menyebut lone wolf adalah pelaku yang beraksi tanpa arahan dari suatu struktur hierarki.
Lone wolf membuat rencana dan metode sendiri tanpa ada bantuan dari pihak kedua dan ketiga.
Dikaitkan perilaku Zakiah Aini di Mabes Polri (rekaman video) kelihatan, dia bergerak tanpa konsep. Tanpa strategi. Maunya apa, tidak jelas. Meskipun gaya melangkah, dan todongan pistol, kelihatan terlatih (terbukti anggota Shoot Gun, Perbakin).
Peneliti terorisme, Rodger A Bates (Clayton State University, Amerika) menyebut aksi teroris lone wolf sulit diidentifikasi atau ditanggulangi.
“Beda dengan kelompok teroris berjaringan. Atau yang dapat sponsor tertentu,” rulis Bates (Dancing With Wolves: Today’s Lone Wolf Terrorists, 2012).
Bates menulis, bahwa teroris lone wolf adalah hasil self-radicalization. Meski aksi berskala kecil, tapi teroris lone wolf dianggap sebagai ancaman yang signifikan. Bisa mematikan.
Zakiah Aini dan surat wasiatnya. Dan, surat suami-isteri Lukman-YSR, bomber bunuhdiri di Makassar. Dihebohkan warganet, Kamis (1/4/21). Karena Roy Suryo mengunggah tentang kemiripan surat para teroris Makassar dan Jakarta, itu.
Roy menulis di akunnya, begini: “Viral di SocMed 2 ‘Surat Wasiat’ yang dibuat oleh MLA (26th, pria) pelaku bom Gereja Makassar dan ZA (25th, wanita) pelaku penyerangan airsoft gun Mabes Polri.”
“Meski (di) beda (kan) cara penulisannya: kemiringan, kapital/ proporsional, dsb, namun gaya bahasanya mirip,” lanjutnya.
Paling jelas, ditunjuk Roy, pada pembuka surat. Begini:
Surat dari Lukman (bomber Makassar) diawali dengan kalimat “Wahai Ummi ku minta maafkan..”
Surat dari Zakiah (penyerang Mabes Polri) diawali dengan “Wahai mamaku, maafin Zakiah..”
Bahkan, Roy membahas bentuk tulisan tangan, derajat kemiringan huruf, pada dua surat tulisan tangan tersebut. Yang di-capture Roy. Memang sangat mirip.
Di bawah kolom komentar, warganet pun banyak yang mengatakan bahwa penulis kedua surat tersebut, sama. “Betul…ada kemiripan gaya dalam “alur” yak,” kata @bang_zhack.
Bisa diartikan, baik Lukman-YSR di Makassar, dengan Zakiah di Mabes Polri, diatur oleh orang yang sama.
Atau, kalau bentuk tulisan mereka sama, karena usia antar mereka hanya terpaut setahun, maka ditafsirkan, surat itu didikte oleh orang yang sama.
Seumpama, kecurigaan Roy Suryo benar, maka tugas Polri mengungkap sutradara di balik kematian anak-anak milenial ini. Pengatur, agar mereka bertindak begitu. Polri wajib mengungkap.
Memang, usia para pelaku bunuhdiri ini tergolong dewasa. Dan, mereka sudah berpikir jernih. Setiap manusia dewasa dan jernih, punya independensi atas jalan hidupnya. Tidak mungkin, orang dewasa mau disuruh bunuhdiri.
Tapi, semua orang tahu, brainwashing membius manusia menjadi sesuatu.
Atau, bomber Makassar dan penyerang Mabes Polri, adalah terorisme stokastik. Istilah ini dicetuskan DR Gordon Woo, Pakar Manajemen Risiko Majalah Newsweek.
“Bagi teroris stokastik, yang penting penyebaran pesan,” (Quantitative Terrorism Risk Assessment, Journal of Risk Finance by Gordon Woo, 2002). Woo menulis itu, terkait tindakan teroris ekonomi yang mengacaukan perekonomian negara.
Menurut Woo, pengacau atau teroris (bidang ekonomi) bisa tampak sebagai pelaku individu (lone wolf). Seolah-olah dilakukan acak. Tidak diorganisir. Tapi jika itu dilakukan lebih dari satu pelaku, dan tindakan mereka punya kemiripan, maka analis harus mengamati pesan yang tersirat. Dari dua atau lebih, peristiwa yang ditimbulkan. Pesan itulah yang penting.
Bisa disimpulkan, maksud DR Woo adalah: Suatu tindakan menimbulkan pesan. Dan, pesan itu menghasut orang lain (massa). Yang diharapkan oleh pelaku, agar orang lain bertindak sama, dengan yang ia lakukan.
Terorisme stokastik versi Woo, dianalisis seorang blogger anonim, yang memposting di Daily Kos pada 2011 untuk menggambarkan perilaku teroris, menjadi hasutan terorisme yang sangat kuat. Meskipun tanpa hubungan organisasi langsung, antara penghasut dan pelaku, orang bisa terhasut jadi teroris.
Jadi, teori ekonomi Woo, diplesetkan jadi teori terorisme dalam arti: Orang membunuh orang lain, atas dasar ideologi.
Para teroris Indonesia sudah meninggal. Polri menyelidik.
Maka, tindakan Kapolsek Ciracas, Kompol Jupriono, Kamis (1/4/21) suatu surprise. Ia mendatngi rumah orang tua Zakiah di Ciracas, Jakarta Timur, sambil membawa bingkisan.
Jupriono mendatangi rumah Zakiah, didampingi Ketua RT setempay, sambil membawa paket sembako.
“Ini… ada sedikit oleh-oleh dari kami,” kata Jupriono kepada keluarga Zakiah Aini. Bingkisan pun diterima ayah Zakiah.
Jangan tanyakan, apakah pemberian itu bisa ditafsirkan ‘membela terduga teroris’? Ataukah sekadar simpati kemanusiaan?
Jangan. Jangan pernah tanyakan itu. Sebab, Zakiah adalah saudara sebangsa. Gadis milenial yang mestinya gembira, menikmati masa muda. (*)