Pejabat Takut UU Sita Harta Korupsi

Oleh: Djono W. Oesman

Diungkap Menkopolhukam, Mahfud MD: Ada dua RUU yang selalu ditolak pejabat dan politisi. 1) RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP). 2) RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK). “Ditolak pejabat, karena takut,” kata Mahfud dalam diskusi via Youtube, Sabtu (2//4/21).

Padahal, dua RUU itu sudah selesai dirancang sejak, lebih dari dua tahun lalu. Menurut Mahfud, bahkan Presiden Jokowi beberapa kali membahasnya dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).

Pemerintah dan PPATK sudah siap. Bahkan RUU sudah jadi. Tapi tidak pernah bisa diundangkan.

Mahfud mengungkap: “Terus terang, saya berdiskusi dengan beberapa teman di kantor. Banyak orang yang takut. Selain RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, juga RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.”

Mahfud tidak menyebut, siapa yang takut. Tapi, dikatakan adalah pejabat dan politisi (calon pejabat). Karena ini menyangkut UU, maka arahnya ke legislatif: Anggota DPR serta politisi dari parpol-parpol yang punya wakil di DPR.

Apa, RUU PATP? Rancangannya sudah jadi. Bahkan sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tahapan akhir, terbentuknya UU. Tapi selalu macet. Berarti ada politisi penjahat, di situ. Yang, pastinya, terlalu rumit dibuktikan (agar bisa disidik polisi). Buktinya, pejabat tinggi sekelas Mahfud pun…

Di RUU PATP. Pasal 2, Ayat 1: Aset yang dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini adalah:
a. Aset yang diperoleh secara langsung, atau tidak langsung, dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya, yang diperoleh dari kekayaan tersebut.

b. Aset yang diduga kuat digunakan, atau telah digunakan. untuk melakukan tindak pidana.

Aset hasil korupsi, tidak bisa disita tanpa UU ini. Jika benar ada pejabat dan politisi yang menghambat RUU ini jadi UU (seperti kata Mahfud), berarti mereka takut suatu saat UU ini bakal ‘memakan’ diri mereka.

Mereka takut, seumpama suatu saat mereka terpeleset (atau memang niat) korupsi, lalu ketahuan, harta mereka dirampas untuk negara. Mereka terlalu takut jadi miskin. Sebab, semua koruptor terlalu ingin cepat kaya.

Jadi, mereka yang takut (RUU itu jadi UU) sudah berniat korupsi. Suatu saat. Jika ada kesempatan. Karena orang yang tidak berniat korupsi, pasti tidak bakal takut.

Kedua, RUU PTUK. Berdasar pernyataan Prof Mahfud di atas, ini yang lebih ditakuti pejabat dan politisi (penghambat dua RUU tersebut).

Apa RUU PTUK? Intinya, transaksi di atas Rp100 juta, wajib lewat bank (transfer). Dilarang via uang kartal, atau pembayaran dengan uang fisik (kertas atau logam). Sehingga, pejabat yang belanja senilai di atas Rp100 juta, otomatis terpantau PPATK.

Mahfud memberi contoh: “Pak Mahfud tuh, gajinya sekian. Tidak punya perusahaan. Tapi kok bisa, belanja setiap bulan Rp250 juta, misalnya. Kalau ini lewat bank, pasti ketahuan. Dari situ bisa dilacak, jangan-jangan ini pencucian uang,” tuturnya. Sehingga penyidik bisa langsung minta klarifikasi kepada yang bersangkutan.

Wow… ini paling mengerikan (bagi koruptor). Tengok saja, belum lama ini, ada menteri beli jam tangan Rp200 juta. Tas Rp700 juta. Di saat ratusan juta rakyat jatuh miskin dilibas korona.

Tapi, Mahfud tidak mencontohkan itu. Ia mencotohkan kasus di Papua. Belum lama ini. Ada pejabat mencairkan anggaran dari pemerintah pusat. Diduga dimanipulir sedemikian rupa, seolah-olah menang berjudi.

Mahfud: “Di Papua, ada dana dari pusat, puluhan miliar rupiah. Dicairkan (oleh pejabat tersebut) ke bank. Kemudian tidak jelas, dibelanjakan untuk apa. Karena, tidak dibelanjakan dengan bank pembelanjaannya. Ada dugaan pejabat-pejabat itu berjudi.”

“Pejabat-pejabat (seolah-olah) berjudi ke Malaysia dan Singapura. Padahal di sana tidak berjudi. Uang rupiah ditukar ke dolar Singapura. Ngakunya menang judi. Tapi, dia memang ada di tempat judi itu,” tambahnya.

Suatu kreasi korupsi yang luar biasa cerdik. Menciptakan alibi, kuat. Tiket pesawat, hotel, tanda masuk tempat judi. Semua tertera hari, tanggal, jam, menit. Padahal, di dalam arena judi hanya menukarkan uang. Duduk-duduk secukupnya, lalu keluar. Pulang ke tanah air Indonesia. Menang judi.

“Itu hanya salah satu contoh saja. Banyak modus lain,” tegas Mahfud.

Maka, Mahfud menegaskan, dua RUU tersebut harus segera jadi UU. Sebab ini, cepat atau lambat penyalah gunaan tersebut merugikan negara.

Pemilu-Pilkada, diperjuangkan para kandidat, mati-matian. Membiayai habis-habisan. Uang habis. Nekat utang. Gambling luar biasa.

Atau, mungkin sudah diperhitungkan matang, bahwa itu bukan gambling. Melainkan, pasti balik modal? (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *