Silat Gaya JK vs Mahfud

Oleh: Djono W. Oesman

“Gimana cara, kritik pemerintah, tak dipolisikan?” ujar mantan Wapres Jusuf Kalla (JK). Humble – santun. Terus, dibalas Menko Polhukam, Prof Mahfud MD: “Bebas, kok. Buktinya, keluarga Pak JK lapor polisi, gakpapa.” Sungguh luar biasa. Persilatan politik-hukum yang memukau.

Kubayangkan, gaya silat mereka begini: JK bergaya Cimande. Kuda-kuda sangat rendah. Kokoh. Kedua tangan direntangkan. Foot work bergeser pelan ke kanan, kedua tangan beringsut lambat. Tapak kiri rendah, nyaris menyentuh tanah.

Prof Mahfud gaya burung Kuntul memantau. Berdiri tegak, tinggi. Matanya tajam mengawasi lawan. Sepertinya tanpa gerakan opening. Tapi, cakar dan paruhnya secepat kilat. Seumpama musuh menyerang.

Bayanganku begitu. Paling tidak, gaya silat politik – hukum mereka sangat beda. Sebagai pendekar senior, mereka sama-sama tangguh. Dan, ratusan juta rakyat Indonesia menonton mereka.

Kalimat JK itu muncul, setelah Presiden Jokowi pada Hari Pers Nasional, menyatakan, pemerintah butuh dikritik (oleh pers). Bahkan, dikritik sangat tajam, pun silakan. Sebagai jamu pahit, tapi menyehatkan.

Baru-lah, muncul kalimat JK di atas. Walaupun pertanyaan JK itu bergaya merendah, dinilai banyak pihak sebagai menyodok. Itulah silat Cimande.

Kalimat JK itu tidak berarti apa-apa, jika ia tidak mengatakan ini: “Habib Rizieq dielu-elukan massa, karena Indonesia krisis pemimpin.” Itu dilontarkan saat Rizieq tiba di Indonesia (dari Arab Saudi) pada 10 November 2020.

Pernyataan JK ini mengagetkan banyak pihak. Karena JK memulai, maka ada yang membalas. Mantan politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean dan Rudi S. Kamri, muncul. Melalui Twitter, komen, menyebut JK sebagai Charlie Chaplin.

Itu bukan penghinaan, kok. Charlie Chaplin adalah bintang film top dunia di zaman film bisu (hitam-putih dan bisu). Mungkin, karena kumis JK yang ‘njlirit’, mirip Charlie Chaplin.

Ferdinand Hutahean, melalui cuitannya mengunggah begini. Awalnya, ia mengakui kehebatan Charlie Chaplin. Membawa uang sekoper untuk membereskan semua urusan di Arab Saudi (bisa ditafsirkan, terkait kepulang Rizieq dari Saudi).

Menurut Ferdinand, langkah itu dilakukan Caplin untuk melancarkan agenda politik pada 2022 (ditafsirkan Pilkada DKI) dan 2024 (ditafsirkan Pilpres).

Sedangkan, pengamat sosial Rudy S. Kamri, juga mengunggah video Youtube dengan sebutan Charlie Chaplin juga. Dikaitkan dengan JK, tentunya.

Akibatnya, puteri JK bernama Musjwira Jusuf Kalla, mempolisikan Ferdinand dan Rudy. Musjwira melapor ke Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, 2 Desember 2020. Tuduhannya, pencemaran nama baik terhadap JK. Laporan diproses polisi.

Prof Mahfud menambahi: “Kita tak bisa menghalangi orang melapor. Melapor, itu kan hak rakyat. Bukan pemerintah yang melapor,” tuturnya dalam siaran video, Minggu (14/2/21).

Mahfud menyebut, sejak zaman JK Wapres, pemerintah menyikapi kritik masyarakat, sebagai dilema. Jika kritik ditindak, maka pemerintah dituding diskriminatif. Kalau dibiarkan, malah menjadi liar.

“Itu konteksnya pertanyaan Pak JK, bukan berarti sekarang mengkritik dipanggil polisi,” jelas Mahfud.

Mahfud mencontohkan, di era Presiden-Wapres, Jokowi-JK, kritik terhadap pemerintah pun bertubi-tubi. Ada, Saracen, Muslim Cyber Army, dan Piyungan.

“Jika ditindak, orang ribut. Jika tak ditindak, juga ribut. Inilah demokrasi,” katanya. Entah, mengapa Mahfud menyebut contoh, kelompok garis keras.

Orang yang disebut Mahfud sebagai contoh, Ferdinand Hutahean, juga ikut komen kemarin. Terkait pernyataan JK di atas.

Ferdinand meminta JK tidak asal berbicara. “Bahasa terangnya mungkin ya… bercerminlah sebelum berbicara,” kata Ferdinand Hutahaean kepada wartawan, Senin (15/02/21).

Menurutnya, JK sudah lupa bahwa keluarganya pernah melaporkan orang lain karena mengkritik. Ferdinand menyatakan, dia sendiri yang dilaporkan oleh putri JK ke polisi. Tuduhan pencemaran nama baik.

Ferdinand menyebut dua contoh: Pertama, “Sahabat saya Silferfester Maturtina, dilaporkan putera beliau pada 2017. Kedua, saya sendiri dilaporkan putera pak JK yang lain lagi,” ungkapnya.

“Nah, justru Pak JK ini lupa, dengan apa yang terjadi. Tidak ingat, atau bagaimana?” sambung Ferdinand.

Kalimat Ferdinand yang terakhir itu, gaya silat garis keras. Mengarah ke fisik dan psikis.

Ferdinand, main gaya silat Sumatera yang blak-blakan. Dulu, dikenal sebagai BTL (Batak Tembak Langsung). Straight to the point. Kayaknya, bukan silat. Melainkan tinju.

Begitulah para politisi. Memainkan gaya masing-masing. Mereka selalu jeli mengamati kompetitor. Jika ada yang kepleset lidah (atau tulis) langsung lapor polisi.

Lapor-melapor polisi ini, bukan seperti yang dimaksud JK. Pada pernyataan di atas. Bukan. Tidak terkait kritik terhadap pemerintah. Melainkan saling lapor-melapor, antar warga.

Tapi, namanya juga silat. Pleset-memleset adalah lumrah. Posisi kuda-kuda pun sangat rendah. Lalu menyerang: Ciaaaat…. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *