GRESIK | lampumerah.id – Warga Desa Melirang Kecamatan Bungah memprotes aktivitas proyek Bungah Industrial Park (BIP) di desa mereka, karena perusahaan tersebut diduga menyerobot lahan warga yang tidak pernah dijual kepada siapapun.
Tak hanya itu, lahan milik negara serta jalan desa juga diduga ikut dikuasai perusahaan tersebut. Bahkan sebagian tanah warga yang masih sengketa saat ini sudah digarap, dampaknya tanaman-tanaman perkebunan milik warga rusak dan rata dengan tanah.
Bahkan menurut Kepala Desa Melirang Muafaq, ada pula tanah negara serta jalan milik desa dengan luas lebih dari 1 hektar yang ikut dikuasai korporasi.
Juga ada lahan seluas 5 hektar, milik 14 warga, yang selama ini tidak pernah dijual, mendadak sudah memiliki SHM atas nama perusahaan.
“Desa sejak awal sudah memberi surat resmi, bahwa ada tanah warga yang belum terbeli. Seharusnya tanah tersebut tidak disentuh. Tapi faktanya, lahan itu sudah diratakan dengan alat berat,” kata Kades Muafaq dalam mediasi warga dengan pihak perusahaan di Balai Desa Melirang, Senin (25/7) sore
Dalam mediasi itu, warga semakin emosi ketika perusahaan hanya menawarkan kompensasi Rp 3.000 per meter jauh di bawah harga pasar.
Padahal informasi dari Kepala Dusun Pereng Wetan Desa Melirang Nur Syafi’i, seorang perwakilan perusahaan bernama H Amak pernah mengaku PT BIP membeli lahan tersebut melalui lelang seharga Rp 195 ribu per meter.
Realita di lapangan, ada warga yang hanya akan diberi kompensasi Rp 3,5 juta untuk satu bidang tanah tanpa hitungan per meter.
Sementara warga lain ditawari ganti rugi senilai Rp 50 juta, karena di atas lahannya sudah berdiri bangunan rumah.
“Kalau perusahaan bisa membeli Rp 195 ribu per meter, kenapa warga hanya dihargai Rp 3.000 per meter? Ini jelas merugikan rakyat, masa harga tanah lebih murah dari harga kerupuk,” protes salah satu pemilik lahan yang ikut pertemuan di Balai Desa Melirang.
Disaat mediasi belum menemui titik terang, pihak perusahaan memulai aktivitas proyek pemerataan tanpa adanya pemberitahuan. Bahkan ada lahan di luar peta perusahaan, seperti tanah milik warga bernama Yahya yang ikut diratakan bersama tanaman singkongnya.
“Tanamannya diratakan begitu saja. Bahkan tanah saya yang tidak pernah saya jual, ikut dibuldoser tanpa izin,” keluh Sumarno, salah satu warga ahli waris dari Adelan atas nama istrinya Uliyah Ulfa.
Selain itu, akses jalan desa yang menjadi fasilitas umum juga ditutup sepihak oleh perusahaan. Padahal, di dalam sertifikat terlihat jelas, ada jalan menuju lahan warga.
Menurut warga, mediasi telah dilakukan beberapa kali, mulai di pos pantau TNI AL, rumah warga, hingga balai desa. Namun semua berakhir buntu, pihak perusahaan melalui H. Amak selaku Humas dan Maharaja bagian legal, tetap bersikukuh bahwa lahan mereka sudah sah secara hukum.
“Ini tanah kami secara sah, maka kami berhak melakukan apapun. Kalau ada kepemilikan warga, silakan tunjukkan dokumennya. Kami akan berikan tali asih, bukan ganti rugi,” tegas Maharaja perwakilan perusahaan.
Pernyataan arogan itu justru membuat warga semakin tersudut. Pasalnya banyak tanah yang belum pernah terjadi transaksi jual beli, namun kini sudah masuk dalam peta sertifikat PT Bungah Industrial Park.
“Investasi jangan sampai menginjak rakyat kecil. Tanah negara dan tanah warga yang belum dijual tidak bisa seenaknya diklaim perusahaan,” tutup Kades Muafaq.
Info yang dikumpulkan menyebutkan, riwayat kepemilikan tanah ini pada tahun 1900-an, terjadi pembebasan lahan oleh PT Puri Mas di Desa Melirang dengan plot mencapai 162 hektar. Namun hingga tahun 1995 proses pembelian lahan tak pernah tuntas.
Kemudian tahun 1997, tiba-tiba muncul sertifikat global seluas 116 hektar yang dijual ke Puskopal TNI AL, selanjutnya berpindah tangan ke PT Citra Mutiara Mandiri, PT Mutiara Sejahtera, AJBS, hingga akhirnya dilelang Bank Mandiri. Lalu dari situlah PT Bungah Industrial Park masuk sebagai pembeli terakhir.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.