Lamer | Solo – Keris Pangeran Diponegoro sudah dikembalikan Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RI. Terus kita ribut soal keasliannya. Seolah masyarakat kita digiring mengabaikan kata “terima kasih”.

Logikanya, mengapa Belanda ‘repot-repot’ mengembalikan keris milik Diponegoro, seandainya itu palsu? Bukankah perang Diponegoro versus VOC pada 1825 – 1830, yang berarti keris itu sudah 245 tahun?

Seperti diberitakan, Raja Belanda, Willem-Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, Senin (9/3/2020). Diterima Presiden RI, Jokowi.

Di pertemuan itu, Raja Belanda mengembalikan keris Diponegoro yang selama ini tersimpan di musem Belanda. Sekaligus ucapan permintaan maaf Raja Belanda.

Kemudian, masyarakat kita ribut. Biang keributan adalah pendapat atau komentar pakar keris. Terkait nama keris (yang katanya) milik Diponegoro.

Nama kerisnya Naga Siluman. Pemberi nama ini Pangeran Diponegoro. Tapi, keris yang dikembalikan Kerajaan Belanda kemarin, dhapur (rancang bangun) Nagasasra.

Sehingga, keris yang ‘repot-repot’ dikembalikan oleh Belanda itu, diduga palsu. Seandainya pihak Belanda tahu pendapat ini, tentunya mereka kecewa.

Adalah, Kurator Museum Keris Nusantara di Solo, Ki Ronggajati Sugiyatno, meragukan keaslian keris tersebut.

Intinya, menurut Ki Ronggojati Sugiatno, keris tersebut dhapur Nagasasra Kamarogan.

Dia meyakini Pangeran Diponegoro tidak mungkin tak memahami rancang bangun atau dhapur keris. Sebagai pangeran, penasihat utama raja (Hamengku Buwono V), Diponegoro mestinya paham perihal keris.

“Tidak mungkin Pangeran Diponegoro tak bisa membedakan keris dhapur Nagasasra dengan keris dhapur Naga Siluman,” kata Ki Ronggajati kepada wartawan, Selasa (10/3/2020).

Dilanjut: “Hal yang lebih tak mungkin lagi, adalah Diponegoro memberi gelar atau nama keris dhapur Nagasasra dengan nama Naga Siluman karena dia pasti tahu bahwa Naga Siluman adalah dhapur tersendiri.”

Alasan berikutnya adalah warangka atau sarung keris yang dikembalikan dari Belanda itu berjenis warangka Ladrangan Kagok gaya Surakarta.

Untuk diketahui, warangka keris Jawa ada empat macam, yakni Ladrangan, Capu, Gayaman, dan Sandhang Walikat.

Pada item Ladrangan, juga berjenis-jenis, antara lain, Ladrangan Kagok dan Ladrangan Branggah.

Ladrangan Kagok memiliki ukuran daun lebih kecil dibanding Ladrangan Branggah, tapi lebih besar dari warangka jenis Capu.

“Diponegoro itu pangeran dari Yogyakarta. Tidak mungkin mengenakan keris dengan warangka gaya Surakarta (Solo).”

Diponegoro hidup pada masa awal pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

“Pada masa itu, identitas-identitas atribut seperti itu sangat diperhatikan sebagai penanda khusus asal seseorang,” analisisnya.

Dari informasi yang dipercayai masyarakat tradisional Jawa, Pangeran Diponegoro memiliki empat keris utama.

Dari keempat keris itu, tiga di antaranya menggunakan warangka Gayaman gaya Yogyakarta dan satu lainnya warangka Ladrangan gaya Yogyakarta.

“Dari keempat keris itu, sejauh pengetahuan kami para pencinta tosan aji (benda pusaka), keris Kiai Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro menggunakan warangka Gayaman Yogyakarta, bukan Warangka Ladrangan, apalagi Ladrangan Surakarta. Kami para pencinta tosan aji meyakini bahwa keris yang baru saja dikembalikan dari Belanda itu bukan milik Pangeran Diponegoro,” tegasnya.

Para sejarawan menulis, Diponegoro punya empat keris.

  1. Kiai Naga Siluman
  2. Kiai Wisa Bintulu yang dikembalikan ke Keraton sebelum dia memimpin Perang Jawa,
  3. Keris Kiai Abijaya pemberian ayahandanya, yaitu Hamengku Buwono III.
  4. Kiai Bandayuda, yang ikut dikubur bersamaan pemakaman Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.
https://www.facebook.com/KompasTV/videos/3373743695976125/

Saksi Mata: Keris Itu Asli

Pendapat kontradiktif datang dari Empu Totok Brojodiningrat. Empu artinya pembuat keris.

Empu Totok mengaku, dia pernah melihat dan memegang langsung keris itu di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda. Ketika dia berkunjung ke museum tersebut, Juni 2019.

Empu Totok memastikan: Itu keris yang dia lihat sewaktu mengunjungi Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda. “Saya yakin,” katanya kepada wartawan.

Dia lalu menunjukkan sejumlah foto, termasuk ketika dia memegang keris tersebut.

Totok memastikan bahwa keris tersebut memang keris kuno, bukan keris buatan baru. Soal ini, empu adalah ahlinya.

Empu Totok berpendapat, nama keris Kiai Naga Siluman adalah julukan yang diberikan Diponegoro terhadap keris tersebut. Bukan terkait dhapur keris.

Menurutnya, mungkin nama Naga Siluman dipilih Pangeran Diponegoro tanpa menghubungkan dengan jenis dhapur-nya.

Atau kemungkinan lain, pelukis Raden Saleh selaku penulis arsip, kurang memahami masalah keris.

“Bisa saja, Pangeran Diponegoro punya pengalaman dahsyat, terkait keris tersebut. Misalnya, ketika membawa keris tersebut beliau tidak kelihatan dari musuh. Lantas, dinamakan Naga Siluman,” tuturnya.

Akhirnya, Empu Totok mengatakan: “Apa pun, ambil positifnya. Yang penting artefak kita bisa kembali.”

Begitulah rumitnya pola pikir orang Indonesia.” (*)