Artikel ini merupakan tulisan pribadi, mengungkap perjalanan hidup bersama almarhum semasa hidup. Khusus dipersembahkan sebagai penghormatan terakhir meperingati hari ke-7 wafadnya. (bagian 2)
Jakarta |lampumerah.id – Tidak banyak yang tahu jika Agus Supriyanto Adalah kader anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Cabang Jakarta. Selain aktif di kegiatan intra kampus, bersama aktif mahasiswa Kampus Ungu lainya, Agus bahkan turut aktif membidani lahirnya HMI Komisariat AMI, ASMI, STEI. (AISIMI) ditahun 1995.
Pergerakan ekstra kampus saat itu dilakukan secara terselubung dan dengan hati hati agar tidak diketahui pihak kampus. Tersadari HMI merupakan organisasi ekstra kampus yang dianggap bersifat politik. Benny Tengker selaku pimpinan Kampus Ungu tentu menentang kegiatan yang dianggap bertentangan dengan misi visi perguruan tinggi di Kampus Ungu, Pancasila dan UUD 1945.
Bagi Agus Supriyanto yang notabene anggota Senat Asmi saat itu, sangat menyadari hal itu. Sikapnya selalu ingin dekat dengan Benny Tengker dan semua pimpinan kampus, menjadi seperti dibuat dilematis.
Dalam satu sisi tak ingin dianggap sebagai problem solfing dihadapan pimpinan YLPG atas pergerakan mahasiswa saat itu. Disisi lain, karakter jawa gak enakan pembawaan Agus membuat dirinya tak bisa menolak ajakan HMI untuk dirinya bergabung.
Oleh karenanya, para aktifis HMI Kampus Ungu saat itu, dari Akademi Maritim Indonesia (AMI) dimotori Ketua Senat Sahid, diikuti Fata Yasin, Dede Sunarya, Nirwan, Samsul Bahri, Rizal, dari STEI ada Heru dan Lia, Hariman. Kemudian dari Asmi ada Oke Sri Lestari (Ketua Senat 95), Agus Supriyanto, Ali Aljufri, Fathi, dan Roni . Mereka bergerak senyap.
Salah satu advokasi yang diperjuangkan saat itu, menuntut disediakanya mushola dilingkungan kampus. Sebagai kampus besar dengan lebih dari 3000 mahasiswa aktif dianggap ironis tidak memiliki fasilitas tempat ibadah.
“Karena tempat ibadah bagi muslim Kampus Ungu wajib hukumnya menjalankan Rukun Islam, menunaikan sholat. Kampus sebesar ini ironis gak punya. Dalam satu sisi gue pingin teman teman bisa sholat dilingkukangan kampus tanpa harus keluar, Tapi disaat yang sama gue juga gak pingin Benteng dan Pimpinan Kampus marah. Gue sangat meghormati beliau beliau,’’ seloroh Agus, saat itu.
Kampus dengan kultur hedonis, rukun dan damai, untuk merealisasi harapan hadirnya mushola dilingkungan Kampus Ungu, tanpa gaduh, memang bukan hal muda. Butuh tekad dan perjuangan. Juga langkah smooth. Namun benar kata pepatah, sepandai tupai melompat, gerekan mereka sebagai aktifis HMI pun diketahui pihak Almamater.
Kampus yang pada awalnya tegas menolak, dengan alasan sholat bisa dilakukan di masjid besar tidak jauh dari kampus. Hanya berjalan sekitar 300 meter dari kampus—pada akhirnya menyetujui dengan catatan; tetap menjaga dan merawat kerukunan antar umat beragama dilingkungan kampus.
Benny Tengker turun tangan langsung. Didampingi Pudir III dan Ketua Bidang Kemahasiswaan, semua dipanggil.
“Bahwa di kampus ini kita bersaudar you musti tahu. Biarpun berbeda-beda agama, suku, ras, agama dan keyakinan, siapapun dan dari manapun, kitorang semua bersaudara disini. Artinya di Kampus Ungu kita semua bersaudara. Sama-sama menjunjung tinggi falsafah negara kita, Pancasila dengan landasan Konstitusional UUD 1945,’’ tegas Benny Tengker.
Sebuah sikap tegas, moderat, kenegarawanan, di luar perkiraan. Agus dan dkk pun merasa lega dan kagum akan sosok Benteng. Sejak saat itu mushola lantai 5 Gedung C Kampus Ungu diperbolehkan menjadi tempat ibadah. Karpet warna hijau baru kinyis kinyis bau pabrik, dan sandal klompen (sandal kayu) akhirnya menambah legazy Almarhum, membersamai lahirnya motto Benteng, bahwa; “Dikampus Ungu Kita Bersaudara”. Kelak menjadi tagline abadi dan melegenda membersamai perjalanan generasi penerus kampus, hingga saat ini. (bersambung-Nex Agus, Param & Sekolah Anak Jalanan)