Dosen IBM asmi Robert Sagay (Foto: Dok Pribadi)

 “Tak semua pahlawan memakai jubah. Sebagian hadir dalam diam, bekerja tanpa pamrih, dan memberi makna tanpa perlu sorotan.”

Agus Supriyanto adalah satu dari sedikit orang yang kehadirannya begitu membekas. Ia bukan pejabat, bukan tokoh yang tampil di layar televisi, bukan pula orator besar. Tapi dalam diam dan kesederhanaannya, ia menorehkan makna.

Bagi saya, Agus bukan sekadar sahabat. Ia adalah rekan seperjalanan dalam banyak hal: organisasi, perjuangan sosial, hingga kehidupan pribadi. Lebih dari 17 tahun kami bersahabat, dan setiap langkah itu adalah pelajaran tentang arti hadir dan peduli.

Dalam Organisasi: Merangkul, Bukan Mendominasi

Sejak awal pertemanan kami, Agus selalu membuka ruang. Di setiap organisasi yang ia ikuti—baik yang berskala kampus, sosial, maupun komunitas—ia memastikan saya turut serta (walaupun akhirnya saya tidak aktif). Bukan karena ia butuh massa, tapi karena ia percaya bahwa gerakan harus dilakukan bersama, dalam semangat kolektif. Ia tidak pernah merasa lebih tahu, tidak pernah memaksakan kehendak. Ia merangkul, bukan mendominasi, ia Ingin memastikan bahwa langkahnya benar

Dunia organisasi kemasyarakatan saya lebih banyak belajar melaluinya. Agus mengajak, bukan dengan paksaan, melainkan dengan keteladanan. Ia hadir, bekerja, bergerak. Ia tidak banyak bicara soal idealisme—ia menjalankannya.

Menghidupkan Sekolah Alternatif Anak Jalanan

Salah satu bentuk nyata dari kepedulian Agus adalah ketika ia menjadi salah satu pendiri Sekolah Alternatif Anak Jalanan. Sebuah langkah yang—secara teknis—bukan bidangnya. Ia bukan berlatar pendidikan, bukan guru, bukan aktivis pendidikan formal. Tapi lagi-lagi, kepedulian mengalahkan batas keahlian. Ia melihat anak-anak jalanan sebagai manusia utuh yang butuh ruang belajar, bukan hanya belas kasihan.

Untuk alasan pendidikan, ia menuntaskan program Strata  1, Sarjana Administrasi Bisnis di IBM asmi, dimana saya  diposisikannya sebagai Dosen Pengarah.

Agus ikut menyusun konsep, mencari relawan, hingga turun langsung ke lapangan. Ia tak pernah menjadikan keterbatasan sebagai alasan. Baginya, jika ada yang bisa dilakukan untuk orang lain, maka lakukan. Dan itulah yang ia buktikan.

Sahabat Sejati: Tinggal Bersama, Berbagi Waktu dan Hidup

Kedekatan kami tidak hanya dalam hal organisasi. Dalam beberapa fase kehidupan saya mengenal sisi lain darinya—yang lebih personal, yang lebih manusiawi. Ia adalah sahabat yang tahu kapan harus mendengar, kapan harus membantu, dan kapan harus sekadar hadir. Ia tidak pernah menyusahkan. Bahkan dalam kondisi sulit, ia tetap membawa semangat yang menenangkan.

Hari-Hari Terakhir: Tetap Memilih Jalan Pengabdian

Ketika kesehatannya mulai menurun, saya menyarankan agar ia pulang ke kampung halaman untuk beristirahat. Tapi Agus menolak. Ia merasa Jakarta adalah tempat pengabdiannya. Meski tubuhnya melemah, semangatnya tidak pernah pudar. Saya sempat menemaninya saat dirawat. Dan ketika dokter menyarankan pulang, saya ada di sana. Kami percaya ia akan pulih.

Beberapa teman yang menjenguk bahkan menyampaikan kabar bahwa ia tampak lebih sehat. Ia bisa bicara seperti biasa, bercanda, bahkan menyampaikan harapan-harapannya. Tapi kemudian, kabar duka itu datang. Agus Supriyanto telah pergi, dengan tenang, tanpa banyak pamit, sebagaimana hidupnya yang selalu sederhana.

Warisan yang Tak Pernah Usang

Kini, Agus memang telah tiada. Tapi nilai-nilai yang ia tanamkan tak akan pernah hilang. Ia telah mengajarkan kami arti menjadi manusia yang peduli. Ia menunjukkan bahwa untuk membantu orang lain, kita tidak harus sempurna. Kita hanya perlu hadir, tulus, dan konsisten.

Ia bukan tokoh besar dalam ukuran media, tapi besar dalam hati kami yang mengenalnya. Ia bukan pahlawan dengan medali, tapi perjuangannya lebih dari layak untuk dikenang.

Selamat jalan, sahabat. Engkau telah menuntaskan tugas dengan indah. Kini, giliran kami yang melanjutkan nyala yang pernah kau jaga.