SIDOARJO l Lampumerah.id – Ketegangan antara DPRD dan Bupati Sidoarjo terkait penolakan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) APBD 2024 terus menjadi sorotan publik. Kali ini, suara keprihatinan datang dari puluhan tokoh masyarakat lintas generasi yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, sebuah kelompok independen yang terdiri dari akademisi, budayawan, aktivis, hingga mantan pejabat publik.

Dalam pernyataan sikap yang disampaikan langsung kepada Bupati Sidoarjo Subandi, Rabu (30/7/2025), mereka menyoroti kegaduhan politik yang dinilai telah mengganggu stabilitas daerah dan membuat masyarakat kebingungan.

“Besok (31/7) hari terakhir. Kalau bisa ya diterima. Kalau tidak, minimal duduk bersama mencari jalan tengah,” ujar H. Kasmuin, salah satu inisiator Gerakan Non-Blok, dengan nada menyejukkan namun tegas.

Kasmuin yang juga Direktur LSM Cepad, mempertanyakan argumentasi DPRD dalam menolak LKPJ. Ia menilai DPRD belum memberikan data konkret yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

“Kalau mau menolak, silakan tunjukkan bukti. Rakyat butuh data, bukan drama,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa berdasarkan keterangan Asisten Pemkab Sidoarjo, Ainur Rofiq, Perubahan APBD (PAK) bisa dilanjutkan setelah pengesahan LKPJ, sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Karena itu, penolakan LKPJ berisiko menghambat proses pembangunan yang lebih besar.

Kasmuin menegaskan bahwa Gerakan Non-Blok bukan pendukung eksekutif maupun legislatif. Mereka hanya mewakili suara rakyat yang tidak ingin terjebak dalam pusaran konflik elite.

“Kami ini rakyat biasa. Tapi rakyat bisa ‘memecat’ pejabat lewat suara dan kepercayaan,” ujarnya mengingatkan.

Koordinator Gerakan Non-Blok, Hariadi Siregar, menyebut penolakan LKPJ sebagai keputusan kurang bijak karena bisa berdampak sistemik.

“Ini bukan cuma soal administrasi. Tapi menyangkut kelangsungan PAK dan proyek pembangunan yang sudah dirancang,” katanya.

Upaya audiensi Gerakan Non-Blok ke DPRD Sidoarjo pun sebelumnya menemui jalan buntu. Surat permohonan pertemuan tak digubris dengan alasan pengajuan terlalu mendadak.

Kritik pedas juga datang dari aktivis Serikat Nelayan NU Sidoarjo, Badrus Zaman, yang menggunakan analogi dunia perikanan untuk menggambarkan situasi politik saat ini.

“Jangan jadikan Sidoarjo seperti kolam lele. Kita ini kelasnya arwana. Harus tampil tenang tapi bernilai tinggi,” sindirnya tajam.

Menurutnya, kegaduhan politik hanya akan memberi ruang bagi pihak oportunis.

“Ikan lele senang di air keruh. Tapi rakyat butuh air jernih agar bisa melihat masa depan,” tambahnya.

Menanggapi desakan Gerakan Non-Blok, Bupati Subandi menyambut baik kritik yang disampaikan dan membuka ruang dialog seluas-luasnya.

“Kalau konflik ini terus dibiarkan, siapa yang dirugikan? Bukan bupati atau anggota DPRD, tapi masyarakat,” ujarnya.

Subandi menjelaskan bahwa dirinya sudah menempuh jalur konstitusional dengan mengirimkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) ke Gubernur Jawa Timur pada 23 Juli, sesuai amanat PP 12/2019 Pasal 197.

“Jangan sampai informasi ini dipelintir dan membingungkan publik,” tegasnya.

Bupati juga membantah isu adanya konflik internal di Pemkab Sidoarjo. Ia menegaskan hubungan dengan Wakil Bupati tetap harmonis.

“Saya dan wakil bupati komunikasi baik. Tidak ada konflik. Jangan rakyat dibingungkan oleh informasi tidak akurat,” katanya.

Subandi menegaskan dirinya terbuka untuk berdiskusi dengan siapa pun, bahkan di luar forum resmi.

“Enggak harus di kantor. Di warung pun saya siap asal tujuannya kemaslahatan. Tujuan saya satu: membangun Sidoarjo sesuai regulasi,” katanya.

Ia juga menyambut kemunculan Gerakan Non-Blok sebagai kekuatan sipil yang sehat dan konstruktif.

“Saya dukung setiap gerakan yang berpihak pada rakyat. Kita harus lurus, taat regulasi, dan melayani,” tegasnya.

Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, Subandi juga tengah menata ulang jajaran OPD melalui proses asesmen integritas dan kapasitas.

“Saya ingin Sidoarjo tidak lagi dikenal karena konflik, tapi karena kerja dan keberhasilan,” pungkasnya.(cls)