Kaesang… Mana Janjimu?

Oleh: Djono W. Oesman

Bungsunya Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, kini digunjing. Gegara menjauhi pacarnya, Felicia Tissue. Berpindah ke lain hati, Nadya Arifta. Di medsos beredar, Kaesang pernah janji nikahi Felicia, Desember 2020 (sudah lewat). Apakah itu bisa digugat pidana? Tidak bisa. Kalau gugat perdata, mungkin bisa. Ada yurisprudensi-nya.

Bukti, bahwa janji nikah meleset, tak bisa dipidanakan:

Rabu, 18 September 2019 rapat dengar pendapat Menkumham Yasonna Laoly dengan Komisi III DPR RI digelar di Gedung DPR.

Membahas RUU KUHP, khususnya Pasal 418 KUHP Ingkar Janji Pria terhadap Perempuan. Pasal 418 ayat 1, berbunyi:

“Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya. Dengan persetujuan perempuan tersebut, karena janji akan dikawini. Kemudian mengingkari janji tersebut. Dipidana penjara paling lama empat tahun, atau denda paling banyak kategori III.”

Ayat 2 bunyi: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini, atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan, dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV.”

Yasonna lantas meminta DPR, men-drop pasal 418 tersebut. Alasannya, pasal itu dikhawatirkan memberi ruang pemerasan.

Yasonna: “Khusus Pasal 418 pak ketua, takutnya nanti ada upaya-upaya kriminalisasi, pemerasan dan lain-lain. Dilakukan oleh pihak-pihak oleh karena sesuatu hal. Jadi tanpa membahas lebih dalam, ya, pemerintah memohon untuk di-drop.”

Usai rehat 20 menit, untuk pembahasan, akhirnya Komisi III DPR dan pemerintah sepakat menghapus Pasal 418 tersebut. “Sepakat, dihapus,” kata Ketua Rapat, Azis Syamsuddin.

Jadi, seumpama Kaesang pernah berjanji menikahi pacar, kemudian ingkar, tidak bisa digugat pidana. Selesai.

Kalau seandainya gugat perdata, bisa. Tapi ada beberapa syarat. Juga bukti. Ada yurisprudensi tentang itu.

Dikutip dari Putusan Mahkamah Agung RI, No 3191 K/Pdt/1984 tertanggal 8 Februari 1986. Gugatan perempuan Miati (samaran) terhadap laki laki IGLR. Kisahnya demikian:

IGLR dan Miati asal Mataram, Nusa Tenggara Barat. IGLR PNS, Miati guru SMA. Pada 1982 mereka berpacaran. Cinta mati. Janji setia sampai mati. Akhirnya, IGLR janji menikahi Miati.

Sebagai bukti cinta, IGLR menyerahkan kartu taspen, kartu pegawai, dan sepeda motor baru. Pastinya, Miati gembira. Airmata haru, pun menitik.

Tapi, perempuan selalu menuntut laki laki. Menuntut publikasi. Bukan dimuat di media massa, bukan. Melainkan, cukup dipamerkan ke publik, bahwa mereka calon suami-isteri. Agar publik jadi saksi.

IGLR tak keberatan. Ia mendatangi sekolah tempat mengajar Miati. Berkenalan dengan para kolega Miati. Di situ, sejoli ini mengatakan, mereka bakal segera menikah.

Dalam budaya universal, itulah publikasi. Pengumunan. Bahwa wanita bernama Miati jangan lagi diganggu pria. Karena akan segera dinikahi IGLR.

Sebaliknya, IGLR juga membawa Miati ke tempat kerjanya. Dilakukan hal yang sama dengan di sekolah, tempat Miati mengajar.

Maka, hati Miati mantap. Untuk hidup serumah bersama IGLR. Sebagaimana suami-isteri. Tidak terjelaskan, apakah kepada para tetangga, mereka mengaku sebagai suami-isteri, atau tidak. Yang jelas, mereka kumpul kebo.

Dari pertengahan 1982, sampai lebih dari setahun, mereka hidup begitu. Tapi belum juga menikah. Biaya hidup bersama, kebanyakan ditanggung Miati. Hanya sesekali IGLR memberi uang belanja.

Miati terus mendesak IGLR agar mereka menikah. Sebaliknya, IGLR selalu menunda. Akhirnya, IGLR mengaku terus-terang. Bahwa keluarganya di Bali tidak merestui rencana nikah. IGLR mengaku, ia bakal dibuang keluarganya, jika menikahi Miati.

Betapa hancur Miati. Segalanya sudah diberikan. Kepada kekasih hati. Kenyataannya begitu.

Akhirnya, Miati memutuskan hubungan itu. Mereka pisah rumah. Tak dinyana, Miati menggugat perdata ke Pengadilan Negeri Mataram, awal 1984.

Berdasar catatan PN Mataram (mungkin juga Indonesia), itulah kasus pertama. Kasus ingkar janji nikah.

Di pengadilan, Miati menuntu IGLR mengganti kerugian, atas biaya hidup bersama yang telah dia keluarkan. Senilai Rp1,5 juta. Ditambah tuntutan ganti rugi Rp5 juta. Atas pemulihan nama baik, karena menanggung malu.

Ternyata, PN Mataram memutuskan: Mengabulkan sebagian gugatan Miati. Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan: “Tergugat IGLR tidak menepati janji menikahi penggugat Miati.” Vonis majelis hakim: Menghukum tergugat membayar Rp2,5 juta. Sebagai pemulihan nama baik penggugat.

Tergugat IGLR langsung naik banding ke Pengadilan Tinggi (PT) NTB.

Juli 1984, Pengadilan Tinggi NTB memutuskan: Mengabulkan banding IGLR. Majelis banding menyatakan, menolak gugatan Miati seluruhnya.

Miati tak terima. Mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Diproses. Dua tahun kemudian, 8 Februari 1986, majelis hakim Mahkamah Agung memutuskan: Membatalkan putusan pengadilan tingkat banding. MA mengadili sendiri kasus tersebut.

Hasilnya: Majelis hakim agung menyatakan, bahwa tergugat IGLR terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Karena itu, dibebani hukuman ganti rugi sebagai pemulihan nama baik sebesar Rp2,5 juta.

Kasus tersebut inkrah (berkekuatan hukum tetap) sampai di situ. Tergugat tidak lanjut ke PK (Peninjauan Kembali). Tidak. IGLR menerima putusan Mahkamah Agung. Dan, membayar ganti rugi yang ditentukan. Kasus selesai.

Untuk dipelajari: Ada beberapa pertimbangan hakim agung mengabulkan sebagian gugatan, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan MA No. 3191 K/Pdt/1984.

Pertama, saksi yang dihadirkan ke persidangan, yakni atasan IGLR, membenarkan bahwa IGLR telah berjanji untuk menikahi MDI. Tetapi lantaran ada penolakan keluarga terhadap perkawinan, maka IGLR tidak menepati janjinya.

Kedua, berdasarkan bukti surat yang diajukan Miati ke persidangan, terungkap bahwa IGLR menyebut Miati sebagai isterinya. Sehingga menurut majelis: ‘dapat disimpulkan, tergugat berkeinginan untuk mengawininya’.

Ketiga, tidak dipenuhinya janji menikahi. Berarti tergugat melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat. Dan, itu adalah perbuatan melawan hukum.

Keempat, tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat terhadap biaya yang dikeluarkan selama hidup bersama, harus ditolak. ‘Karena tidak tertuang dalam surat perjanjian sebelumnya’.

Dalam gugatan perdata, jika majelis menggunakan dalil “perbuatan melawan hukum” (Onrechtmatige daad) maka tergugat harus dihukum.

Onrechtmatige daad, merujuk Pasal 1365 BW/KUH Perdata. Disebutkan: Setiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Dari kasus tersebut, dapat diambil pelajaran: Janji laki laki menikahi perempuan, asal bisa dibuktikan secara hukum, bisa menjadi delik hukum. Pihak yang dirugikan bisa menggugat pihak yang merugikan.

Tulisan ini sekadar memberikan informasi kepada pria, bahwa: Jangan obral berjanji menikahi wanita. Sebaliknya bagi wanita, bisa melawan seandainya ada bukti hukum.

Maka, ini bukan tentang Kaesang Pangarep dan pacarnya. Karena, kabar Kaesang dan pacar, beredar di medsos. Dan dimuat di berbagai media massa, Minggu kemarin. Berita Kaesang itu jadi pembuka bagi edukasi publik. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *