SIDOARJO l Lampumerah.id – Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo menahan dua mantan pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Tambaksawah, Kecamatan Waru. Keduanya adalah Ir. Sulaksono, mantan Kepala Dinas Perumahan, Permukiman, Cipta Karya, dan Tata Ruang (Perkim Cipta Karya) periode 2008–2011 dan 2018–2021, serta Dwidjo Prawito, yang menjabat pada periode 2012–2014 dan kini menjabat Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo.
Penahanan dilakukan pada Selasa (22/7/2025) oleh penyidik Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Sidoarjo setelah melakukan pendalaman berdasarkan fakta persidangan yang sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo, Jhon Franky Yanafie, menjelaskan bahwa pihaknya telah memeriksa empat mantan kepala dinas yang pernah menjabat di Dinas Perkim Cipta Karya. Selain dua tersangka yang ditahan, turut diperiksa Ir. Agoes Boedi Tjahjono (periode 2015–2017) dan Dr. Heri Soesanto (Plt. 2022).
“Hari ini kami periksa tiga orang yaitu S (Sulaksono), DP (Dwidjo Prawito), dan ABT (Agoes Boedi Tjahjono). Sedangkan HS (Heri Soesanto) tidak hadir karena sakit,” jelas Franky.
Setelah dilakukan pemeriksaan intensif, penyidik memutuskan menahan dua tersangka, yakni Sulaksono dan Dwidjo Prawito. Sementara itu, Agoes Boedi Tjahjono dan Heri Soesanto tidak dapat ditahan karena tengah menjalani perawatan medis di RSUD Sidoarjo.
Franky menegaskan, kasus korupsi ini berakar dari pengelolaan Rusunawa Tambaksawah yang tidak transparan, tidak profesional, dan tidak akuntabel. Laporan keuangan dianggap fiktif dan tidak ada kesesuaian antara buku kas, laporan keuangan, dan pencatatan kasir.
“Pembukuannya amburadul. Ada bendahara, ada kasir, ada buku laporan, tapi semuanya beda-beda. Tidak ada sistem keuangan yang bisa diaudit,” tegas Franky.
Masalah pengawasan pun dinilai tidak berjalan semestinya sejak awal pembangunan Rusunawa pada 2007 hingga serah terima fisik bangunan pada 2009. Padahal, nilai aset bangunan utama mencapai sekitar Rp25 miliar, ditambah flat tambahan senilai Rp10 miliar.
Penyidik menyimpulkan bahwa para kepala dinas tersebut lalai menjalankan fungsi pengawasan, pembinaan, dan pemantauan sesuai ketentuan sebagai pengguna barang. Akibatnya, dana dari pengelolaan Rusunawa tidak masuk sebagai pendapatan daerah.
“Para kepala dinas melanggar kewajibannya sesuai Pasal 12 ayat (3) huruf i dan Pasal 481, 482 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016. Mereka tidak menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya,” imbuhnya.
Akibat kelalaian tersebut, negara dirugikan sebesar Rp9,7 miliar. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 18 Jo Pasal 55 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(cls)