Vivi Curhat Pasal Fitnah UU ITE

Oleh: Djono W. Oesman

Hukum bagi penghina via medsos, kini disoal. Diusulkan dihapus. Terbaru, Menko Polhukam Mahfud MD dicurhati Vivi Nathalia (42), Sabtu kemarin. Saat Mahfud mengunjungi kedai kopi milik pengacara Hotman Paris di Jakarta. Curhat tatap muka.

Kunjungan Mahfud tak sekadar ngopi. Sekalian diskusi dengan Hotman tentang pencemaran nama baik melalui medsos (Pasal 27 Ayat 3 UU ITE). Yang kini digunjing agar dihapus. Hotman beberapa waktu lalu juga berpendapat, sama.

Maka, kedatangan Vivi yang curhat, jadi pelengkap. Klop. Entah itu sudah diatur Hotman, atau tidak.

UU ITE ini sudah banyak makan korban. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, berbunyi:

“Setiap Orang, dengan sengaja dan tanpa hak, mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pelanggar, diancam pidana penjara paling lama empat tahun. Dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Kasus Vivi terjadi setahun lalu. “Waktu itu ada yang berutang ke saya Rp 450 juta. Tidak bayar. Ketika saya curhat di Facebook, saya diadukan pencemaran nama baik. Akhirnya saya sekarang menjadi terpidana 2 tahun hukuman percobaan,” kata Vivi ke Mahfud, disaksikan Hotman.

Menurut Vivi, UU ITE ini dijadikan ajang saling lapor. Bisa juga dimanfaatkan penjahat memeras. Menakuti korban. “Apa mau saya lapor polisi? Atau bayar,” ujarnya.

Menanggapi itu, Mahfud kepada semua orang di situ, menjelaskan, UU ITE itu kini diperhatikan Presiden Jokowi. Terutama pasal 27 yang disorot masyarakat. “Tapi, Presiden RI dilarang ikut campur hal teknis hukum. Karena, itu domain peradilan,” katanya.

Pemerintah kini sudah membentuk tim pengkaji. Perlu-tidaknya UU ITE direvisi. “Presiden sudah memerintahkan revisi, jika memang diperlukan. Supaya tidak ada pasal-pasal karet,” ujar Mahfud. Pelaksananya adalah DPR.

Masalah ini rawan. Seumpama dihapus, orang akan bebas menghina via medsos. ‘Ngimpet’ di balik Pasal 28 UUD 1945, bunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”

Di seluruh dunia, tidak ada kebebasan absolut. Kebebasan absolut menimbulkan kekacauan, menuju kehancuran peradaban manusia. Fitnah adalah kejahatan.

Berdasarkan hukum universal, pembuktian pencemaran nama baik, klaim umumnya harus salah. Dan harus terbukti salah, jika itu dilontarkan kepada orang lain, selain orang yang dicemarkan (Ron Hankin, Navigating the Legal Minefield of Private Investigations: A Career-Saving Guide for Private Investigators, Detectives, And Security Police , Looseleaf Law Publications, 2008).

Intinya, jika dampak fitnah bisa dibuktikan secara hukum, bahwa korban fitnah dirugikan secara material, maka pemfitnah dihukum.

Tapi, banyak juga kasus pencemaran nama baik di Indonesia yang bias. Terbaru, kasus Abu Janda versus Natalius Pigai yang tidak berlanjut, setelah Abu dilaporkan ke polisi.

Kasus penghinaan yang dilakukan Ahmad Dhani (sudah menjalani hukuman) bermuatan politik. Artinya, tafsir tentang penghinaan bisa molor-mungkret. Itu sebabnya disebut pasal karet.

Di diskusi publik bertajuk UU ITE di Yogyakarta, Kamis (18/3/2021). Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward OS Hiariej menilai, keberadaan Pasal 27, 28, dan 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memunculkan keresahan di masyarakat.
Menurutnya, ketiga pasal tersebut multitafsir. Karena tidak memenuhi syarat utama asas legalitas, yang salah satunya berbunyi tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang jelas.

Contoh, di Pasal 27 disebutkan bahwa unsur penghinaan yang dimaksud adalah sebagaimana Pasal 310 KUHP tentang penistaan dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah.

Menurut Eddy, hal itu berbeda dengan saat pembentukan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketika mengadopsi sejumlah kejahatan jabatan dari KUHP, pasal-pasal sepenuhnya diambil dan ditulis ulang di dalam UU itu.

Tapi, pencurhat Vivi sebenarnya melakukan hal yang miris. Setahun lalu dia memberi utang kepada Tatang (52) Rp 450 juta. Lalu, Tatang kesulitan mengembalikan. Vivi mengamuk di media sosial yang bernada menghina Tatang.

Di kasus itu, Majelis hakim Pengadilan Jakarta Barat, Agus Setiawan menghukum terdakwa Vivi Nathalia 2 tahun percobaan. Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penghinaan terhadap saksi korban Tatang.

Terdakwa adalah seorang guru piano dijerat melanggar UU ITE No 11 tahun 2008. Menurut Majelis Hakim, Vivi Nathalia selain memfinah juga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, dan pengancamam terhadap korban.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mardiana Yolanda Silaen SH menuntut hukuman 1 tahun penjara, kepada terdakwa. Vonis hakim, hukuman perobaan. Artinya, Vivi tidak perlu dibui langsung. Tapi, jika selama dua tahun (sejak vonis) dia melanggar pidana, maka hukumannya akan ditambahkan.

Tahukah yang ditulis Vivi di Facebook? Ada beberapa. Dan, kasar-kasar. Tidak hanya m,enyebutnya: Binatang. Juga, menyinggung fisik Tatang yang menderita polio sejak kecil. Dan, berdampak negatif ke bisnis Tatang.

Umumnya karakter masyarakat kita, kasar. Tampak di jalan raya. Sesama pengemudi kendaraan di jalan, saling potong, tidak sampai serempetan, ada saja yang ngamuk. Bahkan sampai meludahi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *