Hasil Mitigasi Struktur Bawah Pondasi Setelah Gempa, Tidak Bisa Menjadi Rujukan.

Jakarta | lampumerah.id – Setelah sukses menghadirkan Hakim Pengawas MA Abdul Wahid Oscar, SH, MH., Yodya Karya (persero) Tbk, kembali menghadirkan saksi ahli kedua,  Ir. Meiborn Simanjuntak, ST., MT., IPM. dengan keahlian bidang teknik pemeriksa struktur bangunan grade 9 pada lanjutan sidang perkara No. 53/Pdt.G/PN/Jkt.Utr/2024 di PN Jakarta Utara yang digelar Rabu petang ini.

Selain dosen pengajar, lulusan Universitas Diponegoro, Semarang ini  adalah  sosok konsultan professional Teknik sipil. Keterangan dalam sidang terkait gugatan wanprestasi PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) melawan Yodya Karya (persero) Tbk diharapkan dapat memperkuat pertimbangan hukum pihak termohon.

Ir. Simanjuntak secara meyakinkan setidaknya telah memetakan sinkronisasi domain penting perencana, pengawas dan kontraktor pelaksana hingga terselesaikannya seluruh perencanaan.

Domain perencana, dari desain, ukuran, hingga spesifikasi material, harus mengacu standarisasi baku ketentuan SNI. Termasuk Sondir tanah, Boorring dan pemetaan tanah guna menentukan kebutuhan struktur bawah pondasi.

Ir. Simanjuntak juga menegaskan kontraktor pelaksana sebagai pengendali utama keseluruhan struktur bangunan sejak mulai dibangun sesuai blueprint perencanaan, hingga diserah terimakan.

“Sebagai pelaksana, kontraktor harus memahami keseluruhan desain bangunan, ukuran teknis, bentangan kolom, ukuran material, duckting, pembesian,  dan seterusnya, sesuai keseluruhan roadmap spesifikasi perencana, tanpa kecuali,’’ papar Ahli dihadapan majelis hakim PN Negeri Jakarta Utara, Rabu, (25/9/24).

Namun, lanjut mantan tim penilai ahli struktur banguna di Bogor tersebut, kontraktor wajib berkomunikasi dan konfirmasi dengan perencana manakalah dilapangan menemukan  kejanggalan. Baik kejanggalan teknis maupun non teknis sebagai evaluasi.

“Artinya kontraktor juga tidak boleh diam dan membiarkan begitu jika menemukan ketidak wajaran teknis. Misal ukuran kolom, besi yang tidak sesuai dengan bentangan. Boleh boleh saja diajukan evaluasi atau konfirmasi guna mencegah hal hal yang tidak diinginkan. Harusnya itu,’’ jelas Ahli.

Menjawab pertanyaan pemohon, bisakah untuk memastikan keadaan kontur kedalaman tanah keras untuk kebutuhan struktur fondasi bangunan dua lantai cukup hanya melakukan Sondir dan Boorring pondasi tanah uji laboratorium?

“Semua tergantung kebutuhan dan karakteristik bangunan yang diinginkan owner. Setiap wilayah memiliki kontur tanah berbeda. Jika instink perencana merasa yakin dan cukup dilakukan tahapan Sondir tanah dan Boorring, boleh dan sah saja. Karena dua tahapan itu juga pemetaan tanah. Uji laboratorium tanah menjadi tidak diperlukan lagi,’’ terang Simanjuntak.

Kemudian, apa pendapat ahli jika dalam mitigasi paska bencana (akibat Gempa) diketemukan factor kedalam fondasi ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan kontur tanah yang seharusnya lebih dalam guna mencapai tanah keras?

“Tidak ada seorang pun ahli dapat memastikan keadaan struktur bawah dengan melakukan mitigasi setelah bencana untuk menilai keadaan sebelum bencana. Segala sesuatunya sulit dipastikan. Hanya prediktif saja. Itu kan kira kira saja, seperti insting.  Sehingga evaluasi atau Mitigasi paska gempa tidak dapat dijadikan rujukan untuk menilai keadaan struktur dibawah sebelum terjadi gempa. Karena akibat factor alam itu dahsyat. Segala sesuatunya sudah berubah dan berbeda,’’ tegas ahli.

Keterangan Ahli akibat bencana alam,  semua menjadi unpridictible cukup membuat Ketua Majelis Hakim memahami apa yang disampaikan Ahli.

“Bisa saja gedung pengadilan ini rusak total meskipun gempa kurang dari 3 skala Richter. Karena kedalamannya kita tidak tahu. Itu dahsyatnya akibat gempa,” kata Majelis Hakim, mengakhiri sidang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *