Jokowi Legowo Cabut Perpres Miras

Oleh: Djono W. Oesman

Baru saja, polisi mabuk miras. Di bar Cengkareng: dar… der… dor… mati tiga, yang satu tentara. Ee… Presiden Jokowi bikin Perpres Investasi Miras. Ya… ribut-lah, se-Nusantara. Tapi, Perpres dianulir, Selasa kemarin. Semua gembira. Terutama PBNU.

PBNU, dalam hal ini, penting. Pendukung utama Presiden Jokowi, yang dinilai amanah. Khususnya terkait agama. Dan, miras, betapa pun (walau akan diizinkan di 4 provinsi ‘netral’) tetap saja, nyerempet agama.

Kalau soal agama, ributnya luar biasa. Heboh banget. Karena masyarakat kita sangat agamis.

Sampai-sampai, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, menolak itu dengan mengeluarkan dalil:

“Ar-ridhaa bisy syai’, ridhaa bimaa yatawalladu minhu (Rela terhadap sesuatu, artinya rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut). Kalau kita rela terhadap rencana investasi miras ini, maka jangan salahkan kalau nanti bangsa kita rusak,” kata Said lewat keterangan tertulis, Senin (1/3/21).

Said mengutip Alquran, surat Al-Baqarah ayat 195. Dalam ayat itu, Allah SWT mengingatkan hamba-Nya agar tidak menjerumuskan diri ke kebinasaan.

“Kita sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa laa tulqu bi’aidiikum ilat-tahlukati (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan),” katanya.

Menurut Said, Allah SWT tegas mengharamkan miras lewat Alquran. Sebab miras menimbulkan banyak mudarat.

Sehari kemudian (Selasa kemarin) Presiden Jokowi siaran pers virtual:

“Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru, dalam industri miras yang mengandung alkohol… saya nyatakan dicabut.”

Selesai-lah polemik.

Jangan salah, ada yang gembira, ada yang sedih. Yang gembira, pastinya PBNU. Yang sedih, para politikus yang siap menggoreng isu ini jadi isu agama.

Biar jelas, kronologi soal miras begini: Pemerintah maunya membuka investasi asing untuk industri miras di Indonesia. Kebijakan itu tertuang dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Di Perpres (antara lain), pemerintah membolehkan pemodal asing berinvestasi di industri miras (hanya) di Papua, NTT, Bali, dan Sulawesi Utara. Katakanlah, itu 4 provinsi ‘netral’. Kalau di luar 4 itu, tergantung gubernur.

Tujuannya jelas. Membuka lapangan kerja baru. Investor asing pasti berduyun-duyun masuk. Pengangguran, dan rakyat yang ter-PHK selama pandemi korona, cepat terserap. Kerja. Daya beli masyarakat naik. Roda ekonomi bunyi: kratak… kratak… berderit, setelah setahun karatan akibat pandemi korona.

Tapi, ini miras, gitu loh. Mabuk.

Profesor Psikologi dari McGill University, Kanada, Prof Robert O. Pihl, menyatakan, hubungan alkohol dan agresi, lengket. “Alkohol penyebab setengah dari semua pembunuhan, pemerkosaan, dan penyerangan di Kanada,” katanya.

“Tetapi dinamika asosiasi ini rumit. Itulah sebabnya, setiap penelitian yang berfokus pada penjelasan hubungan ini, penting bagi masyarakat secara umum,” tutur Prof Pihl dalam makalahnya di Psychology Today.

Ia menyebut data di Kanada: Statistik dari National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism dari tahun 2015 menguatkan pernyataannya. Yakni: 696.000 siswa berusia antara 18 dan 24 tahun diserang oleh siswa lain yang sedang minum miras.

Juga, 97.000 siswa berusia antara 18 dan 24 tahun dilaporkan mengalami kekerasan seksual terkait alkohol atau pemerkosaan saat kencan.

Mengapa begitu? Jawabnya, teori “Miopia Alcohol”. Atau, alkohol berpengaruh langsung ke saraf otak. Pemabuk, perhatiannya sempit pada satu persoalan. Fokus. Tidak punya pertimbangan lain. Mati kalkulasi.

Misal, saat seseorang mabuk alkohol, dan perhatiannya pada orang yang dibenci, maka bisa fatal. Ia bisa menyakiti. Tanpa kalkulasi untung-rugi. Enteng saja ia melakukan sesuatu. Selama otak dalam pengaruh alkohol.

Jadi, miras bukan saja persoalan agama (melanggar larangan agama, bagi peminum). Melainkan juga masalah sosial. Fokus kriminologi. Sebab, kejahatan adalah masalah sosial.

Presiden Jokowi bermaksud baik. Niat menolong rakyat, pengangguran. Dan ingat, pengangguran ujung-ujungnya tindak kriminal. Atau jadi pengemis. Kalau penganggur merampok, karena kepepet, masalah kriminologi juga.

Terpenting, dengan menganulir Perpres tersebut, Jokowi bijak. Legowo. Setelah pertimbangan matang. Liku-liku sulit. Karena, jarang kepala negara menganulir kebijakan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *