Jakarta – Lampumerah.id, Pada bulan November 2024 telah diajukan ke DPR RI mengenai RUU Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.
Menyoroti terkait RUU tersebut menurut
pendapat Latifah, SH., MH seorang Advokat dan juga Dosen Etika Profesi Hukum pada Fakultas
Hukum, yang ditemui disela-sela kegiatannya, dimana menurut pendapatnya langkah tersebut
adalah tepat untuk dilakukan Perubahan Kedua atas UU Kejaksaan yang sudah, karena Jaksa samasama merupakan penegak hukum sama dengan profesi hukum lainnya seperti Polri, Advokat yang
memiliki hak imunitas, akan tetapi hak imunitas sebagai penegak hukum harus memiliki batasan,
agar hak imunitas itu tidak disalah gunakan.
Sebagai contoh, Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan UndangUndang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, yang berbunyi sebagai berikut :
Ayat (5) :
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan,
penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa, hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”
Penjelasan ayat (5) :
“Ketentuan ayat ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada Jaksa yang telah diatur
dalam Guidelines on the Role of Prosecutor dan International Association of Prosecutirs, yaitu negara
akan menjamin bahwa Jaksa sanggup untuk menjalankan profesi mereka tanpa intimidasi,
gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji
kebenaranya, baik terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban
lainnya.”
Bahwa kita tahu Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih dan diangkat langsung oleh
Presiden, berbeda dengan Penegak hukum lainnya seperti Polri dimana Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan atas persetujuan DPR sebagai bentuk check and balances.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kejaksaan tidak lepas dari pengaruh politik, oleh karena nya
tidak menutup kemungkinan sulit untuk independen dan bersikap profesionalisme.
Lanjut menurut Latifah, S.H., M.H, Pasal 8 ayat (5) tersebut diduga khawatir nantinya berdampak
pada memberikan perlindungan yang berlebih bagi oknum jaksa yang nantinya berpotensi
digunakan untuk menutupi praktik penyalahgunaan wewenang, oleh karenanya alangkah bijak jika
hal tersebut diatur lebih transparan dalam pemberian izin pemanggilan terhadap Jaksa untuk
menghindari konflik kepentingan dan membuat aturan mengenai mekanisme pengawasan
independen terhadap kejaksaan khususnya dengan memperkuat kewenangan Komisi Kejaksaan
yang saat ini hanya bersifat rekomendasi dan tidak mengikat.
(*)