Jakarta, Lampumerah.id — Ketidakadilan dalam industri perfilman kembali mencuat setelah pengakuan seorang make-up artist, Irma Agustin, yang mengaku belum menerima pembayaran atas jasanya selama lebih dari satu tahun. Honor yang seharusnya ia terima senilai Rp7,5 juta hingga kini belum juga dibayarkan, meskipun film yang melibatkan jasanya telah resmi ditayangkan.
Irma, yang bekerja sebagai salah satu tenaga make-up artist dalam produksi film tersebut, menyampaikan bahwa keterlambatan pembayaran ini berdampak serius terhadap kondisi finansialnya. Tak hanya harus menunggu janji yang tak kunjung ditepati, Irma bahkan terpaksa berutang ke sana kemari demi menutupi kebutuhan modal kerja berikutnya.
“Ibu ini sampai pinjam-pinjam uang ke orang buat modal kerja lagi,” ujar sumber yang mengenal dekat kasus ini. Harapan Irma sederhana—honor yang menjadi haknya segera dibayarkan, sesuai janji yang pernah dilontarkan pihak produksi.
Yang membuat situasi ini kian menyakitkan, menurut Irma, adalah kenyataan bahwa film tempat ia bekerja sudah dirilis dan ditonton publik, namun hak-hak para pekerja di balik layar belum sepenuhnya dipenuhi. Ia bahkan menyebutkan bahwa beberapa pihak rumah produksi (PH) terlibat dalam proyek tersebut, namun tidak ada satu pun yang mengambil tanggung jawab secara langsung untuk menyelesaikan pembayaran.
Lebih dari sekadar nilai nominal, tunggakan pembayaran ini menyangkut kelangsungan hidup Irma dan anaknya. Ia bergantung penuh pada penghasilan dari pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini menyoroti realitas getir yang kerap dihadapi para pekerja freelance di industri hiburan: bekerja keras, namun kerap diabaikan ketika tiba saatnya menagih hak.
Yang lebih parah, Irma mengaku kini sulit menghubungi pihak produksi karena nomor kontaknya telah diblokir. Komunikasi yang awalnya berjalan lancar perlahan menghilang seiring waktu, meninggalkan Irma dalam ketidakpastian yang panjang. Janji-janji pembayaran yang sempat diberikan ternyata hanya menjadi angin lalu.
Kasus seperti yang dialami Irma Agustin bukan kali pertama terjadi di industri film Indonesia. Banyak pekerja lepas—mulai dari kru teknis, make-up artist, wardrobe hingga stuntman—seringkali berada di posisi rentan karena tidak adanya perlindungan hukum yang kuat.
Padahal, peran mereka tak kalah penting dari pemain utama di layar. Mereka adalah bagian dari tulang punggung produksi, yang bekerja berjam-jam untuk menciptakan hasil akhir yang bisa dinikmati publik. Ketika film sukses dan tayang, hak mereka seharusnya tidak bisa dinegosiasikan.
Kasus Irma juga membuka kembali diskusi tentang perlunya regulasi dan pengawasan yang lebih ketat dalam industri kreatif, khususnya perfilman. Pembentukan serikat pekerja atau asosiasi profesional yang dapat memberikan perlindungan hukum dan menyalurkan pengaduan semacam ini menjadi kebutuhan mendesak.
Irma dan banyak pekerja freelance lainnya hanya menginginkan satu hal: keadilan. Mereka ingin kerja keras mereka dihargai secara pantas. Kasus ini, jika dibiarkan tanpa penyelesaian, berpotensi menjadi preseden buruk bagi praktik bisnis dalam industri perfilman nasional.
Sampai saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak rumah produksi terkait tunggakan honor Irma. Namun publik, terutama komunitas film dan para pekerja lepas, mulai menyuarakan dukungan agar kejadian seperti ini tidak lagi terjadi di masa depan.
“Dia cuma ingin haknya dibayar, itu saja. Karena uang itu bukan cuma untuk dia, tapi untuk keluarganya yang dia tanggung,” tutup narasumber.