Sidoarjo l Lampumerah.id – Bentuk bangunannya di beberapa sudut Masjid Baitus Sholihin. Yang terletak di Dusun Sawah, Desa Kedung cangkring, Kecamatan Jabon Sidoarjo, masih terlihat kuno. Masjid ini adalah saksi sejarah syiar Islam di Sidoarjo Selatan yang banyak mencetak ulama besar.
Salah satu keunikan Masjid ini adalah waktu penunjuk memasuki ibadah sholat Dhuhur Dan Ashar masih menggunakan jam Matahari.
Meskipun jaman sudah berubah, disaat semua mulai menggunakan teknologi modern yang serba canggih. Masjid Baitus Sholihin, masih menggunakan cara tradisional dengan jam matahari atau jam Istiwa’ untuk menandai datangnya waktu sholat.
Keunikan jam yang menggunakan sinar matahari sebagai penunjuk waktu sampai saat ini masih dipertahankan sebagai icon khas Masjid Baitus Sholihin, yang sekarang berada di area terdampak lumpur Lapindo.
Jam Matahari atau jam Istiwa’ saat ini mulai dilupakan oleh generasi muda. Perlu diketahui jam matahari ini terdiri dari dua bagian busur atau lingkaran dan besi yang berdiri tegak. Pada lingkaran itu terdapat garis. Dan garis-garis itu menunjukkan empat arah mata.
Masjid tua yang sudah tiga kali mengalami perombakan itu terletak di sisi Selatan tanggul penahan lumpur desa setempat. Kalau kita melintas di jalur alternatif dari Desa Mindi Porong ke arah Timur menuju Kecamatan Jabon, kita pasti melewati masjid ini. Keberadaanya sangat mencolok. Bagaimana tidak, kanan kiri masjid ini hanya semak dan tanah kosong.
Sebelum lumpur panas menyembur Bulan Mei tahun 2006 silam, tempat ini merupakan kawasan padat penduduk. Namun mereka telah pindah setelah ganti rugi tuntas dan meninggalkan masjid ini ‘sendirian’.
Namun meskipun demikian, sampai saat ini, masjid Baitus Sholihin yang terletak di Utara Sungai Porong ini masih terawat dengan baik. Dan seringkali digunakan warga menunaikan sholat lima waktu, yang kebetulan lewat.
“Mereka yang salat tarawih di sini ya kebanyakan bekas warga sekitar yang saat ini pindah tidak jauh dari sini. Rata-rata mengaku kangen dengan suasana kampung halaman mereka yang kini telah tengelam,” tutur takmir masjid Baitus Sholihin, Mudzakir, Rabu (14/04/21).
Saat Idul Adha kemarin, masjid ini juga menyembelih dua ekor kambing. “Kami juga masih menggelar salat Idul Fitri. Yang datang mayoritas ya, bekas warga sekitar. Selain bernostalgia, mereka juga bisa bersilaturahmi dengan mantan tetangga,” terangnya.
Mudzakir yang merupakan keturunan dari pendiri pondok pesantren di lingkungan masjid Baitus Sholihin ini menerangkan, memang tidak menjual tanah dan bangunan peninggalan leluhurnya.
“Warga juga tidak menghendaki itu,” katanya.
Ia tidak bisa mengatakan dengan pasti, kapan masjid Baitus Sholihin didirikan.
“Kata ayah saya, disini dulu bekas pondok pesantren. Letaknya di Utara masjid ini. Sejak saya kecil, bangunannya ya seperti ini. Ayah bercerita, awalnya hanya mushala bambu berukuran kecil yang ada di depan. Lalu berkembang menjadi pondok pesantren,” ucapnya.
Kesan tua masjid Baitus Sholihin, juga terlihat dari tempat wudhu di samping masjid yang sengaja tidak dirombak. Disitu terdapat kolam air berukuran 1,5 x 4 meter. Terdapat beberapa gayung untuk berwudlu.
Banyak warga yang dulu tinggal di sekitar Masjid Baitus Sholihin, sesekali bernostalgia.
Salah satunya adalah Rohid Khan (40) yang kini pindah di Kecamatan Bangil Pasuruan.
“Bersama istri dan anak-anak, beberapa kali mampir ke sini. Pernah juga salat Tarawih disini,” ujar bapak dua putra yang rumahnya dulu di samping Timur kompleks masjid Baitus Sholihin.