SURABAYA l Lampumerah.id – Kasus besar dugaan impor dan perdagangan ilegal bahan kimia berbahaya sodium cyanide (sianida) oleh PT Sumber Hidup Chemindo (PT SHC) kembali mencuri perhatian publik. Setelah sempat ramai diberitakan usai penggerebekan oleh Dittipidter Bareskrim Polri dan Polda Jatim beberapa bulan lalu, kini kasus itu justru mendadak “senyap” saat memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Pantauan media ini menunjukkan, sidang kasus tersebut sejatinya digelar rutin setiap Rabu di Ruang Kartika PN Surabaya. Namun, pada Rabu (1/10/2025), sidang dengan nomor perkara 1791/Pid.Sus/2025/PN Sby yang terjadwal mulai pukul 09.00 WIB sesuai data di situs resmi SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), tak kunjung dilaksanakan hingga hampir pukul 12.00 WIB.
Padahal, dalam jadwal resmi itu tertulis bahwa terdakwa Steven Sinugroho bin Sugiharto, Direktur PT SHC, akan menjalani sidang dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi. Namun hingga siang hari, ruang sidang tetap kosong. Ironisnya, pemberitaan soal jalannya persidangan kasus ini nyaris lenyap dari pemberitaan media arus utama. Publik pun bertanya-tanya, ada apa di balik “senyapnya” kasus besar yang sempat menggemparkan dunia industri bahan kimia itu?
Kuasa hukum terdakwa, Rohmad Amrulloh, saat dimintai tanggapan terkait jalannya persidangan, enggan memberikan komentar. “Kalau statemen, minta ke Mas Ridwan saja ya,” ujarnya singkat.
Kasus Sianida Ilegal Bernilai Miliaran Rupiah
Kasus ini bermula dari penggerebekan tim Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri di gudang PT SHC di Jalan Margomulyo Indah, Surabaya, pada 14 April 2025. Dalam operasi tersebut, polisi menemukan ribuan drum sianida dari berbagai merek. Beberapa drum bahkan sudah dilepas labelnya untuk menyamarkan asal usul barang.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa PT SHC bukanlah perusahaan importir produsen (IPB2), melainkan hanya memiliki izin sebagai Distributor Tetap Bahan Berbahaya (DT-B2). Artinya, perusahaan ini tidak memiliki kewenangan melakukan impor langsung bahan berbahaya seperti sianida.
Namun, Direktur PT SHC, Steven Sinugroho, disebut menjalin kerja sama ilegal dengan PT SPM di Pontianak — perusahaan yang memiliki izin IPB2 — untuk memuluskan impor sianida dari dua perusahaan asal Tiongkok, yakni Guangan Chengxin Chemical Co Ltd dan Hebei Chengxin Co Ltd.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suwarti dari Kejati Jatim mengungkapkan, kerja sama kedua perusahaan itu dimulai November 2023 dengan dalih proyek penambangan emas.
“Namun faktanya, proyek tersebut hanyalah kedok untuk menggunakan izin PT SPM sebagai tameng impor sianida dalam jumlah besar,” jelasnya di persidangan sebelumnya.
Uang Suap, Makelar, dan 494 Ton Sianida
Lebih lanjut, Suwarti menyebut pengurusan izin impor dilakukan oleh seorang makelar bernama Holyanto, yang menerima transfer senilai Rp1,6 miliar dari Sugiarto Sinugroho, pihak PT SHC. Uang itu digunakan untuk memuluskan proses perizinan dan pengeluaran barang dari pelabuhan.
Dalam kurun waktu Mei 2024 hingga April 2025, PT SHC berhasil mengimpor 494,4 ton sianida atau setara 9.888 drum dalam tujuh kali pengiriman. Setelah tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, seluruh drum dikirim ke gudang PT SHC di Surabaya.
Awalnya, sianida tersebut diklaim akan digunakan untuk percobaan produksi emas. Namun karena hasil produksi tidak sesuai harapan, terdakwa kemudian menjual kembali bahan berbahaya itu dengan harga antara Rp4,2 juta hingga Rp4,6 juta per drum ke berbagai pihak di Sulawesi Utara dan Gorontalo melalui jasa pengiriman.
Pelanggaran Berat dan Ancaman Pidana
Modus impor dan perdagangan ini jelas melanggar aturan. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan, importir produsen seperti PT SPM dilarang memperjualbelikan bahan berbahaya yang diimpornya, sebab izin tersebut hanya untuk kebutuhan produksi internal.
Dari penggerebekan di gudang PT SHC, polisi menyita berbagai barang bukti seperti ribuan drum sianida, surat jalan, nota, buku catatan stok, label merek yang telah dilepas, hingga bukti pembayaran atas nama PT SPM. Hasil uji Laboratorium Forensik Polda Jatim memastikan seluruh barang bukti adalah sodium cyanide (NaCN).
Atas perbuatannya, terdakwa dijerat Pasal 106 Jo Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Publik Tunggu Transparansi
Hingga kini, persidangan kasus yang bernilai miliaran rupiah ini masih bergulir di PN Surabaya, meski terkesan tertutup dan minim publikasi. Beberapa kalangan menilai, kasus ini menjadi ujian bagi transparansi penegakan hukum terhadap kejahatan ekonomi yang melibatkan bahan kimia berbahaya.
Sementara itu, upaya konfirmasi kepada pihak Komisi VI DPR RI yang membidangi perdagangan dan industri terkait pengawasan impor bahan berbahaya, belum membuahkan hasil.
Publik kini menanti: akankah kasus “Sianida Surabaya” ini diselesaikan secara terbuka dan tuntas, atau justru menguap begitu saja?