GRESIK | lampumerah.id – Faktor kemiskinan dan banyaknya masyarakat tak bisa menjangkau layanan kesehatan, menjadi salah satu
penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), serta stunting di Kabupaten Gresik.
“Untuk penanganan AKI, AKB, dan stunting tidak bisa berdiri sendiri. Butuh kolaborasi, sinergi dengan semua stakeholder. Kerjasama oentahelix melibatkan pemerintah, akademisi, pengusaha, komunitas dan media atau ABCGM sangat dibutuhkan,” ujar Plt Bupati Gresik, Dr Aminatun Habibah saat membuka TalkShow hasil kerjasama Dinas Kesehatan (Dinkes) Gresik dengan Komunitas Wartawan Gresik (KWG) di Gedung Nasional Indonesia, Senin (30/9).
TalkShow dengan tema ‘Strategi Penurunan AKI (Angka Kematian Ibu), AKB (Angka Kematian Bayi) dan Stunting, Melalui Pendekatan Integrasi Layanan Primer di Kabupaten Gresik’, diikuti seluruh Kepala Puskesmas, Tenaga Medis serta anggota KWG. Ada empat narasumber yang tampil, Ketua KWG Miftahul Arief, Kadinkes dr Mukhibatul Khusnah, MM, M.Kes, Kabid Kesmas Dinkes Gresik Anik Luthfiyah serta anggota DPRD Kabupaten Gresik Lutfi Dhawam.
Bu Min, sapaan akrab Plt Bupati Gresik menyebut, pendidikan masyarakat dan lingkungan yang kurang baik juga berpengaruh terhadap AKI, AKB, dan stunting
Untuk itu, Bu Min minta petugas Puskesmas, Kepala UPT, perawat untuk turun lakukan sosialisasi, memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk mencegah dan mengurangi AKI, AKB, dan stunting.
“Di Gresik, tenaga kesehatan adalah pasukan terbesar kedua setelah guru. Silakan turun lakukan sosialisasi, dan pendampingan bila menemukan stunting,” katanya.
Ia juga mengajak insan wartawan membantu pemerintah, memberikan edukasi kepada masyarakat dan kontrol kepada puskesmas melalui pemberitaan agar pelayanan terus diperbaiki.
Kabid Kesmas Dinkes Gresik, Anik Luthfiyah memaparkan jumlah kematian ibu mencapai 89,76 persen atau 18 orang pada 2022, dan naik menjadi 99,38 persen atau 20 orang pada 2023 lalu.
Sedangkan jumlah kematian bayi dari yang semula 83 bayi atau 4,18 persen dengan angka lahir hidup (ALH) sebanyak 20.053 pada 2022, naik menjadi 97 bayi atau 4,82 dengan angka lahir hidup sebanyak 20.124 selama 2023.
“Penyebab utama kematian ibu adalah eklampsia dan preeklamsia, sementara faktor lainnya seperti jantung, diabet, dan lainnya. Sementara kematian bayi disebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), asfiksia, keluarga bawaan, sepsis, peneumonia, diare, dan lainnya,” paparnya.
Kepala Dinkes dr Mukhibatul Khusnah menyatakan telah berupaya maksimal, menekan AKI, AKB dan stunting. Seperti mengajak ibu hamil untuk memeriksa kandungan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sesuai usia kehamilan trimester dengan ANC terstandar (10T).
“Untuk memitigasi kasus tersebut, bisa dimulai sejak seorang perempuan menjadi calon pengantin yang diwajibkan memeriksakan diri atau konsul kesehatan agar terbebas dari anemia, dan penyakit lainnya,” katanya.
Kadinkes mengakui anggaran dari APBD belum mencakup semua kebutuhan. Karena itu, Dinkes Gresik mendapatkan alokasi dari sejumlah sember pendanaan, di antaranya dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dan Dana Desa (DD).
“Kita juga menggandeng pihak ketiga, sebagai bapak asuh, misal gandeng perusahaan, alhamdulilah jalan,” ucapnya.
Meski AKI dan AKB trennya naik, Khusnah menyebut stunting turun, yang mana bisa dilihat dari 3 tahun terakhir. Salah satu upaya dilakukan pemerintah dengan program Gresik Urus Stunting (GUS), lalu pada tahun ini tercatat balita stunting sebanyak 3.362, balita sembuh 5.719, dan balita lulus 2.876.
“Alhamdulillah trend kasus stunting di Kabupaten Gresik terus turun. Jika tahun 2021 berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) turun 12,8 persen dari 23,5 persen, di tahun 2021 menjadi 10,7 persen tahun 2022. Tahun 2023 9,4 persen. Target kami tahun 2024 turun dibawah 1 digit atau dibawah 10 persen. Lebih rendah dari Jawa Timur dan nasional yang ditargetkan 14 persen,” pungkasnya.
Anggota Fraksi Gerindra DPRD Gresik, Lutfi Dawam, mengungkapkan faktor penyebab AKI, AKB dan stunting tidak melulu kemiskinan. Sebab, banyak anak orang kaya kena stunting, karena tak terurus dengan baik karena kesibukan orangtua bekerja.
“Saya contohkan anak dirawat pembantu karena kesibukan orangtua. Dibelikan susu orang tua seharga Rp 1 juta susu dijual pembantu dan dibelikan susu lain. Makan anak tidak mengandung gizi berimbanga,” katanya.
Ia juga mengungkapkan, banyaknya stunting di Pulau Bawean, karena mereka tidak paham baik pola asuh anak, layanan kesehatan dan lainnya.
“Karena itu, saya minta Kepala.UPT Puskesmas, perawat, bidan turun berikan penyuluhan, beri pendampingan, jangan duduk di kantor saja,” sebutnya.
Dawam menambahkan, DPRD Gresik telah memberikan alokasi anggaran cukup untuk penangan AKI, AKB, dan stunting.
“Saya minta jangan selalu anggaran jadi alasan, anggaran saya rasa cukup,” ucapnya.
Pada kesempatan ini, Dawam juga menyoroti rusaknya sejumlah bangunan di RSUD Umar Masud Bawean, dampak gempa bumi yang tak kunjung dilakukan perbaikan.
“Saya juga menyorot minimnya tenaga medis di Bawean, khususnya dokter spesialis, sehingga layanan kesehatan di Bawean tak maksimal,” katanya. (san)