Pendeta Yohanes Kristianus Bawa 231 Warga Indonesia Keluar Dari Sergapan 5000 Rudal Hamas

Jakarta l lampumerah.id – Pendeta Yoanes Kristianus Gembala Gereja Impact Community Indonesia (ICI) tidak  menyangka jika ziarah religi bersama 231 warga Indonesia ke Tanah Perjanjian akan bermakna begitu dalam.

Saat baru akan menuju kota Jerusalem, Sabtu (7/10) pagi, Pendeta Jojo, biasa dipanggil, mendadak dikejutkan oleh bunyi sirine tanda bahaya. Baru diketahui bunyi sirene akibat serangan mendadak 5000 rudal Militan Hamas yang diluncurkan serentak ke arah kota kota di Israel.

Bisa dibayangkan suasana hati jika terjebak pada situasi seperti itu.  Apa yang bisa dilakukan, selain berserah dan berdoa  yang memperkuat keyakinan Pendeta Jojo pada kekuatan doa.

Kekuatan Doa

Pada kesaksian yang disampaikan Minggu, (15/0), pagi Pendeta Yoanes  menceritakan kembali bagaimana jemaatnya, yang sebagian besar perempuan, nampak khawatir melihat dan mendengar hantaman rudal. Baik oleh serangan roket dari Hamas maupun serangan balasan dari Israel.

“Banyak sekali keluarga dan teman di tanah air yang menelfon minta agar cepat keluar. Kami bukan tidak berusaha tetapi semua hotel yang ada di Yordania, semua penuh. Jadi saya sampaikan ke para jemaat, tenang, kita berdoa. Saya berulangkali mengatakan Tuhan pasti akan melindungi kita dan Tuhan pasti akan membukakan jalan kalau memang sudah waktunya bagi kita untuk meninggalkan Israel,” ujar Pendeta Yoanes dengan suara tertahan.

Kemudian rasa lega dan suka cita tak dapat diungkapkan ketika akhirnya rombongan tiba di Kota Irbid, Yordania, setelah melintasi perbatasan lewat Jembatan Sheikh Hussein.

Menurut Yoanes, hal pertama yang membuatnya tenang selama proses ziarah religi dan upaya menyebrangi perbatasan adalah doa.

“Setiap muncul keraguan, rasa khawatir dan lainnya, kami berdoa. Kami mencoba menghibur mereka yang juga ketakutan dengan nyanyian dan doa. Hal-hal yang positif dan mulia sehingga menenangkan,” ungkap Jojo.

Sebelumnya, Pendeta Jojo beberapa kali memimpin ziarah religi ke Mesir, Israel dan Yordania, yang memakan waktu antara 10-12 hari.

Tetapi baru kali ini ia membawa jemaat dalam jumlah sangat besar dan secara tak terduga di tengah ibadah yang diakukan di Yerusalem, dirinya bersama jemaat menjadi saksi mata langsung serangan Hamas ke Israel pada tanggal 7 Oktober lalu.

“Pada waktu kami melakukan ziarah di pagi hari, saya sudah diinformasikan oleh guide (pemandu.red)… Pak Jojo, dia panggil saya begitu, ini ada situasi yang tidak aman di bagian selatan Israel, di dekat Gaza, Ashkelon, Ashdod, ada rudal. Tetapi yang lain aman,” ujar Pendeta Yoanes, dikutip dari wawancara langsung dengan VOA Whasington DC, Kamis (12/10).

Diceritakan Pastor Johanes, bersama rombongan 231 orang semuanya warga Indonesia, mereka mulai jalan jam 7.30 pagi waktu Israel dengan tujuan ziarah ke situs-situs suci.

Peserta rombongan tidak ada yang tahu bahwa saat itu ada ribuan roket Hamas menyerang wilayah selatan Israel.

Saat itu semua kegiatan masih sesuai itinerary. Hingga mereka tiba di Makam Daud, sekitar jam 9 pagi,  mereka dikejutkan bunyi sirene yang keras sekali.

“Pemandu langsung minta kami bersembunyi di gua, atau menempel di tembok. Ayo cepat-cepat ini bahaya,” kata Jojo menirukan arahan Pemandu. Kami melihat lansung ada banyak sekali rudal dilangit dan terdengar suara “bum” yang menandakan rudal itu ditangkis oleh Iron Dome Israel,” ungkap Johanes.

Serangan ini terjadi berulangkali,  hingga saat lima bus yang membawa 231 jemaat Gereja Impact Community Indonesia secara perlahan-lahan bergerak meninggalkan situs-situs suci di Yerusalem.

Pemerintah Israel meminta agar semua orang berlindung dan bersembunyi di tempat perlindungan, rombongan jemaat Indonesia memutuskan ikut bersembunyi di bunker yang terbuat dari besi baja dan beton, sambil terus bersama-sama berdoa.

Keesokan harinya, tepatnya pada hari Minggu (8/10), suasana lebih reda diputuskan kembali melanjutkan ziarah religi sesuai jadwal. Lima bus bergerak meninggalkan Yerusalem menuju ke Tel Aviv, dan kemudian ke Haifa – kota terbesar ketiga di Israel – terus hingga menuju Tiberias.

“Di sana justru aman. Sama sekali tidak ada rudal, sehingga kami dapat melakukan semua kegiatan ibadah sesuai itinerary pada hari Minggu, Senin dan Selasa. Baru pada hari Selasa (10/11) kami berupaya menyebrang ke Yordania setelah Israel menyatakan secara terbuka negaranya sedang berada dalam keadaan perang. Ketika itu di perbatasan cukup ramai karena yang ingin menyebrang bukan hanya rombongan dari Indonesia, tetapi juga dari Belanda, Eropa, dan negara-negara Asia lain,” papar Yoanes.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *