Lamer | Jakarta – Anak-anak ISIS dari Indonesia, bukan saja sudah membakar paspor, tapi juga menyatakan meninggalkan Indonesia. Masak, sekarang mereka minta kembali, lantas kita terima?

Demikian pertanyaan masyarakat tentang wacana pemulangan eks ISIS asal Indonesia.

Pembakaran paspor oleh ISIS mengemuka pada Mei 2016.

Saat itu, ada video yang menayangkan sejumlah anak berlatih menembak dan berperang. Anak-anak itu diduga ada yang berasal dari Indonesia.

Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti, menengarai anak-anak itu adalah gabungan dari anak-anak Asia Tenggara alias serumpun.

https://www.facebook.com/rio.priadi.1/videos/1001076223339281/

Peristiwa pembakaran paspor Indonesia ini lalu menjadi argumen penolakan terhadap pulangnya eks ISIS ke Tanah Air.

Argumen ini dikemukakan salah satunya oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menolak eks ISIS kembali ke Jawa Tengah.

Pemerintah berencana akan menggelar rapat terbatas (ratas) terkait wacana pemulangan WNI eks ISIS ini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), secara pribadi sudah menyatakan penolakan.

Presiden Jokowi mengatakan: “Kalau bertanya pada saya, ini belum ratas lho ya, kalau bertanya pada saya, saya akan bilang ‘tidak’.”

Dilanjut: “Tapi masih dirataskan. Kita ini pastikan harus semuanya lewat perhitungan, kalkulasi plus-minusnya, semuanya dihitung secara detail.”

“Dan, keputusan itu pasti kita ambil di dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan. Hitung-hitungannya,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2020).

Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah membentuk tim untuk mengkaji positif-negatifnya pemulangan mantan kombatan ISIS ke Indonesia.

Belum ada keputusan sampai saat ini, apakah Indonesia bersedia memulangkan mereka atau tidak.

Ada yang Usulkan Menerima Mereka

Pengamat terorisme Al Chaidar kepada wartawan, Senin (10/2/2020) berpendapat, WNI eks ISIS perlu dipulangkan ke Indonesia. Dia mengatakan:

“Sangat perlu karena itu amanah undang-undang juga kan.”

Dilanjut: “Di undang-undang itu menyatakan bahwa andaikata ada orang Indonesia yang di luar sana, ingin pulang dan minta proteksi dan sebagainya, itu harus dipulangkan dan banyak dari mereka yang menyatakan (ingin) pulang, itu kan banyak diusir juga dari kamp, dibakar kampnya,”

Chaidar menilai aksi bakar paspor yang dilakukan oleh eks ISIS pada 2016 silam itu sebagai bentuk provokasi oleh segelintir orang saja.

Ia menduga eks ISIS itu hanya dilanda emosional sesaat. Karena itu dia menilai pemerintah tetap harus membahas rencana pemulangan WNI eks ISIS.

“Jadi saya kira itu (bakar paspor) tidak merupakan pendapat ke semua orang, dari yang pernah ke Suriah sana, dan mereka itu harus dikembalikan karena mereka punya hak asasi manusia untuk kembali ke kampung halamanya,” kata Chaidar.

Menurutnya, pemerintah juga perlu memberikan upaya rehabilitasi atau karantina ‘politik’ kepada para eks ISIS. Hal itu sebagai langkah untuk mencegah tersebarnya paham-paham radikal di Indonesia.

“Katakanlah apakah (program) dari Depsos, dari kepolisian, sebelumnya kan memang harus memantau mereka, memberikan kebetuhuan-kebutuhan mereka karena mereka kan sudah menjual semua (harta benda) untuk ke sana, tapi yang menjual itu hanya bapak atau ibunya saja, sementara anak-anaknya nggak,” tuturnya. (*)