Oleh: Dr. Anggawira
(Sekretaris Jenderal BPP HIPMI / Ketua Umum ASPEBINDO)
Indonesia sedang menghadapi ujian besar. Pertumbuhan ekonomi yang masih terjaga di kisaran 5% PDB seakan memberi optimisme, namun di lapangan kita menyaksikan potret yang lebih rumit: gejolak sosial, menurunnya kepercayaan pada institusi negara, hingga stagnasi reformasi struktural.
Jakarta | lampumerah.id – Belakangan, kita dikejutkan oleh maraknya demonstrasi besar di berbagai kota yang berujung ricuh. Bukan hanya sekadar unjuk rasa, tetapi juga penjarahan, perusakan fasilitas umum, hingga bentrokan massa dengan aparat kepolisian. Situasi ini menunjukkan akumulasi kekecewaan publik yang tak terbendung. Ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, isu ketidakadilan sosial, dan kesenjangan ekonomi menjadi bahan bakar bagi amarah kolektif.
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua: ada yang salah dalam tata kelola negara, dan ada yang harus segera diperbaiki secara fundamental.
⸻
Keprihatinan atas Situasi Aktual
Pertama, polarisasi politik yang semakin tajam membuat ruang publik penuh kegaduhan. Setiap kebijakan seringkali dibaca dalam kacamata kepentingan kelompok, bukan kepentingan bangsa. Ini memperlebar jarak antara elite politik dengan masyarakat.
Kedua, stagnasi ekonomi riil memperburuk suasana. Industri manufaktur hanya menyumbang kurang dari 20% PDB, sementara lapangan kerja baru sulit tercipta. Di tengah inflasi pangan dan energi, masyarakat kelas bawah semakin tertekan. Ketika saluran aspirasi formal tidak dipercaya, jalanan menjadi ruang ekspresi—yang sayangnya sering berujung pada kekerasan dan chaos.
Ketiga, krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum kian mencolok. Aksi massa yang mengarah ke protes terhadap polisi adalah cermin bahwa masyarakat menuntut transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas yang lebih tinggi. Tanpa perbaikan serius, legitimasi institusi akan terus merosot.
⸻
Apa yang Harus Diperbaiki Secara Fundamental
1. Reformasi Politik dan Kepemimpinan Publik
Rekrutmen pejabat publik harus berbasis meritokrasi, bukan transaksi politik. Proses yang bersih dan transparan akan melahirkan kepemimpinan yang kredibel dan mampu meredam polarisasi.
2. Reindustrialisasi dan Hilirisasi Nyata
Indonesia tidak bisa terus bergantung pada komoditas mentah. Hilirisasi mineral, penguatan industri pangan, dan transformasi energi terbarukan harus dipercepat. Reindustrialisasi bukan hanya jargon, tetapi program nyata yang menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan.
3. Reformasi Aparat Penegak Hukum
Polisi dan lembaga hukum harus dikembalikan pada fungsinya sebagai pelayan publik, bukan alat kekuasaan. Perbaikan pola rekrutmen, pelatihan etika, hingga mekanisme pengawasan independen sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
4. Tata Kelola Anggaran yang Produktif
APBN harus diarahkan pada sektor produktif seperti infrastruktur energi, pendidikan, kesehatan, dan riset teknologi. Belanja negara tidak boleh tersandera oleh pembengkakan belanja rutin yang minim dampak langsung ke masyarakat.
5. Kepastian Regulasi dan Penegakan Hukum yang Konsisten
Dunia usaha membutuhkan kepastian. Deregulasi yang tepat sasaran serta perlindungan hukum yang adil akan menumbuhkan kepercayaan investor dan memperkuat daya saing nasional.
⸻
Penutup
Gelombang demo, aksi massa, hingga penjarahan adalah gejala permukaan dari masalah mendasar. Jika kita hanya sibuk mengobati gejalanya tanpa menyentuh akar persoalan, krisis sosial dan politik akan terus berulang.
Indonesia butuh keberanian untuk melakukan pembenahan fundamental: memperbaiki sistem politik, membangun ekonomi berbasis industri yang berkeadilan, serta menata kembali aparat hukum agar dipercaya rakyat.
Tanpa langkah-langkah itu, bonus demografi bisa berubah menjadi beban, dan stabilitas ekonomi yang kita banggakan akan rapuh diterpa badai. Saatnya Indonesia tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menegakkan keadilan, kepercayaan, dan tata kelola yang sehat.