Oleh: Djono W. Oesman
Belum direvisi, UU ITE ditabrak. Unggahan video: Jaksa di kasus Rizieq Shihab, disuap. Viral Minggu (21/3/21). Langsung direspon Kejaksaan Agung, Polri dan Menko Polhukam, Mahfud MD. Hampir bersamaan. Di tempat berbeda. Tanda, begitu pentingnya.
Unggahan videonya sudah hilang. Durasi 48 detik. Di Facebook, Twitter, Instagram, YouTube dengan narasi. Menghebohkan. Bentuknya begini:
Video, ada narasi, dengan voice over: “Terbongkar… pengakuan seorang jaksa yang mengaku menerima suap di kasus sidang Habib Rizieq Shihab. Innalillah… semakin hancur wajah hukum Indonesia.”
Di situ ada wawancara. Seorang jaksa diwawancarai. Pewawancara pakai perekam mirip wartawan. Dialognya begini:
Berapa yang ditangkap, Pak?
Satu, yang kita tangkap jaksa AF, yang kedua adalah AM, pemberinya.
Nominalnya?
Nominalnya satu setengah. Uangnya dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu dan pecahan Rp 50 ribu.
Ditemukan di?
Ditemukan di tempat kos oknum jaksa.
Selesai.
Kejaksaan Agung langsung membantah rekaman video viral tersebut. Kapus Penkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan pers, menegaskan, rekaman video itu memang benar ada. Yang diwawancarai adalah Jaksa Penyidik, Yulianto SH MH. Pewawancara wartawan. Terjadi November 2016.
Dijelaskan, wawancara itu terjadi setelah Tim Saber Pungli Kejaksaan menindak Jaksa AF. Jaksa AF tertangkap tangan, menerima pungli Rp 1,5 miliar. Pada November 2016 di Surabaya.
“Bahwa penangkapan oknum Jaksa AF di Jawa Timur tersebut terkait dengan pemberian suap dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi Penjualan Tanah Kas Desa di Desa Kali Mok, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur,” demikian keterangan Leonard.
Pejabat Kejaksaan yang memberi penjelasan soal penangkapan AF tersebut, adalah jaksa Yulianto. Waktu itu Yulianto, Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi pada Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
“Sekarang, Bapak Yulianto, SH MH sudah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT),” kata Leonard.
Maka, narasi pembuka, yang mengaitkan wawancara tersebut dengan kasus Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, adalah hoaks. Kejaksaan Agung meminta agar masyarakat tidak lagi menyebarkan rekaman video hoaks tersebut. “Karena penyebaran itu melanggar hukum, UU ITE.”
Penyebarnya melanggar Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) khususnya pasal 45A ayat (1). Bunyinya:
“Setiap orang, dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dipidana dengan pidana penjara enam tahun, dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.”
Langsung disambut Bareskrim Polri. Segera dicari pengunggahnya, yang bagi Divisi Cyber Crime Polri, gampang. “Ya, sedang dilidik,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono, dikonfirmasi wartawan, Minggu (21/3/2021).
Ditimpali, Menko Polhukam, Mahfud MD: “Untuk kasus seperti inilah, antara lain, UU ITE dulu dibuat,” cuit Mahfud dalam akun Twitter resminya, Minggu (21/3/2021).
Padahal, sehari sebelumnya, Mahfud mendatangi kedai kopi pengacara Hotman Paris di Jakarta Utara. Hotman pernah berpendapat, agar UU ITE dihapus, karena pasal karet yang banyak makan korban.
Di kedai milik Hotman itu, Mahfud juga dicurhati Vivi Nathalia (42) terpidana hukuman percobaan kasus UU ITE. Vivi mengusulkan ke Mahfud agar UU tersebut dihapus.
Tapi, Mahfud tak surut semangat untuk merevisi UU ITE. “Kita tetap akan menelaah kemungkinan revisi UU ITE untuk menghilangkan potensi pasal karet,” katanya.
Tapi, beredarnya hoaks itu memberi wacana baru. Yakni, antara delik aduan dengan delik umum. Dua hal berbeda.
Biasanya, UU ITE diterapkan untuk penghinaan, fitnah, pencemaran nama baik individu. Ini disebut delik aduan. Artinya, polisi hanya akan bertindak jika ada korban mengadu, lapor. Sedangkan, delik umum, polisi langsung bertindak, tanpa menunggu laporan.
Mahfud: “Video ini viral. Publik marah, ada jaksa terima suap dalam kasus yang sedang diramaikan akhir-akhir ini. Tapi ternyata ini hoax,” katanya. “Penangkapan atas jaksa AF oleh jaksa Yulianto, terjadi enam tahun lalu di Sumenep. Bukan di Jakarta, seperti disebutkan.”
Hoaks di video ini, delik umum. “Polisi bisa langsung bergerak, tanpa pengaduan,” ujarnya. Ini edukasi masyarakat, tentang hukum. Sekaligus jadi wacana bagi pembuat UU saat merevisi UU ITE, sebentar lagi.
Peraturan dibuat dan disempurnakan, mengadopsi peristiwa hukum. Tidak ada kekang mutlak, pun tiada kebebasan absolut. (*)