Jangan Remehkan Silent Majority

Surabaya I lampumerah.id – Hari Ini hari terakhir masa kampanye. Mulai besok Minggu (11/2/2024) hingga Selasa (13/2/2024) atau selama 3 hari ke depan, kita memasuki masa tenang.

Banyak larangan selama masa tenang, di antaranya pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik, calon anggota DPD RI dan calon angggota legislatif mulai DPR RI, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota tidak boleh kampanye dalam bentuk apapun.

Alat Peraga Kampanye (APK) baik outdoor, indoor sudah harus dibersihkan. Media juga dilarang memasang iklan kampanye, menampilkan profil atau rekam jejak peserta pemilu.

Selain itu lembaga survey juga tidak boleh merilis tentang hasil pemilihan umum dalam bentuk apapun. Hasil survey hanya boleh dikeluarkan maksimal hari Sabtu (10/2/2024) yang terjadwal sebagai hari terakhir kampanye.

Dari beberapa rilis hasil survey yang dikeluarkan pada pekan terakhir masa kampanye, masih ada lembaga survey yang menyatakan perolehan suara salah satu pasangan calon sudah mencapai 50% lebih.

Artinya lembaga itu memprediksi pemilihan presiden akan berakhir satu putaran.

Namun ada juga lembaga survey yang menegaskab tidak ada pasangan calon yang mendapat angka di atas 50%, yang artinya pemilihan presiden akan berlangsung dua putaran.

Bagaimana kita menyikapinya?

Ya… tenang saja, namanya juga prediksi hasil kontestasi politik. Lembaganya juga banyak, kalau hasilnya berbeda, ya bisa saja terjadi.

Kan ada margin eror.. hehehe.

Tapi jangan lupa, masih ada yang namanya silent majority (mayoritas diam), yang tidak bisa diremehkan keberadaannya dalam penentuan pemenang kontestasi politik,

Apa itu Silent Majority?

Kehadiran kelompok ini dijelaskan oleh Elisabeth Noelle-Neuman ilmuwan politik asal Jerman dalam teori Spiral of Silence, yang intinya adalah bahwa seseorang cenderung menyembunyikan pendapatnya jika terlalu berlawanan dengan opini umum dalam suatu lingkungan.

Jadi ukuran sentimen percakapan, kurang akurat dijadikan sebagai tolak ukur persepsi publik, dalam sebuah survey.

Kita bisa membagi pemilih ke dalam dua kategori: mereka yang menyatakan pilihannya ke capres tertentu dengan terus terang dan mereka yang silent atau tidak mau menyebutkan pilihan politiknya.

Agar tak membingungkan, istilah silent majority ini kadang disebutkan dengan dua istilah lain, yakni hidden voters (pemilih tersembunyi) atau shy voters (pemilih yang malu-malu).

Silent majority itulah yang menjadi salah satu sumber kegagalan lembaga survey.

Sebab, ketika diwawancarai petugas survey, pemilih yang silent itu tidak mau berterus terang menyatakan pilihan politiknya. Akibatnya, hasil hitungan dukungan pasangan calon di survey menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.

Meski menyembunyikan pilihannya dari petugas survey, mereka tetap mencoblos capres pilihannya di bilik suara.

Mereka itulah yang meluluhlantakkan prediksi-prediksi selama ini.

Tapi mengapa mereka tidak mau berterus terang dengan pilihannya?

Jawabannya, karena keterusterangan itu bisa menempatkan dirinya di dalam situasi konfliktual.

Perbedaan pilihan politik di rumah, di kantor, di organisasi, di komunitas sosial bisa menimbulkan suasana tidak nyaman dalam pergaulan.

Kadang juga citra personal dari capres yang menjadikan sebagian pemilihnya untuk berdiam saja atas pilihan politiknya. Sebab mereka menghindari risiko dimusuhi atau terkucilkan secara sosial.

Tesis klasik spiral of silence mendeskripsikan dengan tepat situasi ini. Ketakutan akan keterkucilan sosial mendorong pemilih untuk menyembunyikan pilihannya dengan melakukan konformitas pura-pura terhadap opini dominan.

Penyebab kegagalan lain dari lembaga survey adalah kurang sensitifnya sampling frame yang mereka pakai untuk menjaring silent majority. Karena mereka terkonsentrasi pada wilayah atau kelompok demografi tertentu, dan kurang terwakili dalam sample.

So, mau satu putaran atau dua putaran? Silent Majoritylah penentunya.

Penulis: Wakil Ketua PWI Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *