KLB Demokrat Ingat Kudatuli

Oleh: Djono W. Oesman

Pasca KLB Partai Demokrat, dan Moeldoko jadi Ketua Umum, lalu apa? Ya… ribut-lah. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pidato, antara lain, minta bantuan Presiden Jokowi. Sebaliknya, Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah tidak intervensi internal partai.

Prof Mahfud tidak menarik sejarah. Bahwa PDIP dulunya bernama PDI. Lantas, 27 Juli 1996 rebutan berdarah, dijuluki Kudatuli (akronim Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Menewaskan lima orang dan ratusan terluka. Melibatkan tentara.

Di situ, Ketua Umum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi, dan beberapa tentara menyerbu, menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, yang dikuasai Ketua Umum PDI kongres Surabaya, Megawati Soekarnoputri.

Dalam catatan Majalah Tempo, 5 Juli 2004 (dimuat lagi di Tempo.co 27 Juli 2018) menyebutkan dugaan keterlibatan SBY di Kudatuli. Waktu itu, SBY Kasdam Jaya berpangkat Brigjen. Atasannya, Pangdam Jaya, Mayjen Sutiyoso. Penyerbu kantor PDI, antara lain, pasukan Kodam Jaya.

Tapi, menurut Tempo, SBY dibela Kepala Staf Umum ABRI saat itu, Letjen Soeyono. Bahwa SBY memang berada di lokasi kejadian Kudatuli. Tapi, keberadaan SBY di sana sebatas memudahkan komunikasi dengan Sutiyoso. “Soal dipakai atau tidak, itu keputusan panglima,” kata Soeyono dalam wawancara Tempo, Juli 2004.

Kudatuli menyebabkan sebagian wilayah Jakarta terbakar. Gedung-gedung di seputaran Jalan Diponegoro, Proklamasi, Kramat Raya, sampai wilayah Senen, dibakar massa. Sabtu malam Minggu, 27 Juli 1996 suasana Jakarta mencekam. Buku-buku yang mengungkap kejadian itu, menuliskannya sebagai Sabtu Kelabu.

Prof Mahfud tidak menarik garis sejarah sejauh itu. Tidak sampai sana. Ia hanya menarik garis yang lebih pendek: Pecahnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dua kali. Satu di zaman Presiden RI, Megawati Soekarnoputeri. Satu lagi zaman Presiden RI, SBY.

Mahmud melalui cuitan di akun Twitter @mohmahfudmd, Sabtu (6/3/2021), menuliskan begini:

“Sesuai UU 9/98 Pemerintah tak bs melarang atau mendorong kegiatan yg mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deliserdang.” (UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum).

Dilanjut: “Sama dgn yg menjadi sikap Pemerintahan Bu Mega pd saat Matori Abdul Jalil (2020) mengambil PKB dari Gus Dur yg kemudian Matori kalah di Pengadilan (2003).”

Lanjut: “Saat itu Bu Mega tak melarang atau pun mendorong. krn scr hukum hal itu masalah internal PKB. Sama jg dgn sikap Pemerintahan Pak SBY ketika (2008) tdk melakukan pelarangan saat ada PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin). Alasannya, itu urusan internal parpol.” (di situ Mahfud mengaitkan dengan SBY).

Lanjut: “Bg Pemerintah skrg ini peristiwa Deli Serdang merupakan mslh internal PD. Bukan (minimal belum) menjadi mslh hukum. Sebab blm ada laporan atau permintaan legalitas hukum baru kpd Pemerintah dari Partai Demokrat. Pemerintah skrng hny menangani sudut keamanan, bkn legalitas partai.” (maksudnya, pemerintah: Polisi dan Satgas Covid berusaha membubarkan kerumunan massa di KLB).

Risikonya, kata Mahfud MD, pemerintah bisa dituding cuci tangan. Sebaiknya, kalau melarang atau mendorong, bisa dituding intervensi, memecah belah.

Lanjut: “Kasus KLB PD baru akan jd masalah hukum jika hsl KLB itu didaftarkan ke Kemenkum-HAM.”

Kepada wartawan, Mahfud mengatakan: “Saat itu (hasil KLB didaftarkan ke Kemenkumahm) baru-lah Pemerintah akan meneliti keabsahannya berdasar UU dan AD/ART parpol.”

“Keputusan Pemerintah pun bisa digugat ke Pengadilan. Jadi, pengadilanlah pemutusnya. Dus, sekarang tidak atau belum ada masalah hukum di PD,” ucapnya.

“Belum ada masalah hukum”, inti pernyataan Mahfud. Di era pasca Orde Baru, memang tidak ada lagi kekerasan yang melibatkan tentara. Untuk urusan politik semacam ini. Urusan, perebutan kuasa di partai politik. Terakhir, sebelum KLB PD, perebutan kuasa di Partai Berkarya, Tommy Soeharto. Juga tak melibatkan militer. Murni masalah hukum.

Maka, permintaan tolong SBY agar Presiden Jokowi ikut campur dalam KLB PD, jadi tidak tepat. Meskipun, Moeldoko Kepala Staf Kepresidenan. Sebab, dalam hal ini Moeldoko dipilih jadi Ketum PD, atas nama pribadi, tidak terkait jabatan pemerintahan.

Itu sebabnya, Prof Mahfud tampil bicara (cukup) via Twitter. Mewakili pihak pemerintah. Itu pun Mahfud tidak menyinggung Kudatuli. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *