Jakarta | Lampumerah.id – “Indonesia saatnya tarik rem darurat pandemi Corona,” kata Epidemiolog Dicky Budiman via Youtube, Sabtu (19/6/21). Artinya: Gawat. Harus lockdown atau PSBB.
Dicky adalah Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University of Australia. Menurutnya, di Indonesia sekarang adalah puncak gelombang pertama.
Penyebabnya beragam. Antara lain, penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang tidak efektif. Penerapan testing, tracing dan treatment atau 3T yang kurang maksimal. Akumulasi banyak faktor.
Itu sebab, ia sarankan lockdown atau PSBB. “Syaratnya, PSBB harus selaras antara pemerintah pusat dan seluruh pemerintah daerah. Jika tidak selaras, percuma. Karena manusia selalu bergerak, yang sulit dibatasi,” tuturnya.
Berita tentang Covid di semua media massa Indonesia, Sabtu (19/6/21) didominasi tentang lonjakan jumlah kasus Corona. Di berbagai kota. Secara serentak. Tertinggi DKI Jakarta.
Selain rumah sakit penuh, juga makam penuh. Di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, bagi jenazah Corona, wajib ditumpuk.
Artinya, makam A yang sudah dikubur beberapa waktu lalu, digali lagi. Di galian itu dimakamkan si B, yang bukan anggota keluarga A. Karena, makam jenazah Corona sudah penuh.
Itu baru tumpuk dua. Yang, jika kondisi ini berlanjut, bisa jadi tumpuk tiga. Dan, mungkin maksimal tumpuk tiga. Karena jika tumpuk empat, berarti yang terbaru hanya beberapa sentimeter dari permukaan tanah.
Berita-berita media massa itu bukan horor, bukan teror. Itu faktual. Pastinya, mengerikan diterima masyarakat.
Virus Corona bertebaran di mana-mana. Menimbulkan ngeri, khawatir, bahkan takut. Ini justru berdampak buruk terhadap jiwa. Yang pada akhirnya bisa menurunkan kekebalan tubuh.
David Kessler dalam bukunya Finding Meaning: The Sixth Stage of Grief (2019) menjelaskan, semua manusia pasti mengalami hal buruk dalam hidup. Dan, orang harus siap menerimanya.
Kessler adalah Thanatolog (Thanatologi adalah ilmu tentang kematian dan kerugian yang ditimbulkan sebagai akibatnya). Gampangnya disebut ilmuwan pakar kesedihan. Seperti Didi Kempot yang pakar lagu sedih. Kessler ilmuwan, Kempot seniman.
Di buku Kessler, disebut anticipatory grief (antisipasi kesedihan). Semua orang bisa mengantisipasi peristiwa sedih. Peristiwanya belum muncul, tapi sudah diantisipasi. Sudah jaga-jaga.
Itu relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Di saat jumlah kasus Corona meningkat tajam, belakangan ini. Semua orang sudah ambil ancang-ancang: Bagaimana kalau saya, atau keluarga saya, kena Covid?
Inilah yang mengguncang rasa aman kita sekarang.
Bagaimana solusinya? Kessler menjelaskan, kuncinya adalah menemukan keseimbangan terhadap apa yang kita pikirkan.
Karena anticipatory grief memunculkan skenario terburuk dalam pikiran kita, dan untuk mengimbangi hal ini kita perlu kembali ke situasi “sekarang”.
Jangan pernah lupa bersyukur. Bahwa sekarang, saya belum kena Covid. Belum sakit. Masih bisa makan. Masih bisa bernapas dengan baik. Anggota keluarga kita baik-baik saja. Kalau pun ada anggota keluarga, atau teman, yang sakit, masih ada harapan sembuh.
Pikirkanlah terus-menerus rasa syukur itu.
Menurut Kessler, kunci utamanya adalah membuang jauh-jauh suatu hal yang tidak dapat kita kendalikan atau kontrol.
Contoh: Banyak orang tidak bermasker, tidak menjaga jarak, di tempat umum. Itu tentu mengkhawatirkan. Penyebaran Corona. Tapi, itu tidak dapat kita larang. Di luar kendali kita.
Pertanyaan, apakah kita bakal kena Covid? Ini juga di luar kendali kita. Maka, abaikan saja.
Fokus-lah terhadap hal-hal yang dapat kita kontrol. Misal: Batasi keluar rumah, pakai masker, hindari kerumunan, rajin cuci tangan. Kalau pun harus keluar rumah, jangan menyentuh benda yang banyak disentuh orang. Gagang pintu, pegangan di dalam gerbong KA atau bus.
Dan bersyukur atas kondisi kita sekarang. Inilah mekanisme pikiran bertahan, menghadapi gencarnya berita media massa tentang peningkatan jumlah kasus Covid saat ini.
Teori Kessler ini sebenarnya sudah sering kita dengar. Dalam bentuk yang berbeda. Tapi, kadang kita kurang yakin, jika orang pemberi saran dianggap kurang meyakinkan. Atau, kita sendiri yang keras kepala.
Buktinya, masih banyak yang beranggapan bahwa virus Corona hanya rekayasa. Jenis ini terlalu pede. Dan cenderung bodoh. Yang, tentunya tidak layak dibahas.
Maka, kemungkinan pemerintah menetapkan lockdown, pastinya sudah mengkhawatirkan. Apalagi, kalau sampai itu benar-benar jadi keputusan. (*)