Virtual Police Diuji, Kualitas Penguji, Begini…

Oleh: Djono W. Oesman

Pelaksanaan Virtual Police diuji. Pengejek Walikota Solo, Gibran Rakabuming, mahasiswa Arkham Mukmin, diwakili pengacara Boyamin Saiman, menggugat Kapolres Surakarta. Jadi, ejekan di medsos, lalu pengejek dipanggil polisi, kini polisi digugat praperadilan. Masalah medsos, selalu seru.

Kronologi: Sabtu (13/3/21) Arkham berkomentar di akun Instagram @garudaevolution. Di situ Walikota Solo Gibran, mengunggah, isinya meminta agar laga semifinal dan final, piala Menpora digelar di Solo.

Karena, kickoff di Solo, Minggu (21/3/21). Maksud Gibran, minta berlanjut di laga semifinal dan final, juga di situ.

Arkham masuk ke kolom komentar: “Tau apa dia tentang sepakbola, taunya cmn dikasih jabatan saja.”

Komen itu disimpulkan, ada dua maksud: 1) Gibran tidak tahu tentang sepakbola. 2) Gibran dikasih jabatan walikota.

Kapolresta Solo, Kombes Ade Safri Simanjuntak kepada wartawan menjelaskan, terhadap uanggahan Arkham, tim Virtual Police, Polresta Solo, minta saran tim penasihat. Para pakar hukum, Kominfo, ITE. Hasilnya: Itu berpotensi masalah.

Virtual Police mengirimkan DM (Direct Message) ke Arkham, bahwa komen berpotensi masalah hukum. Polisi meminta, komen itu dihapus Arkham sendiri. Tapi, dengan semangat kritikus, Arkham menolak. Tidak bakal menghapusnya.

Arkham dipanggil ke Polresta Solo. Posisi Arkham di Yogyakarta. Jarak 558 kilometer. Arkham juga malas. Sehingga, dijemput polisi. “Tujuannya, ia diberi edukasi, bahwa komen itu hoaks. Karena Gibran bukan dikasih jabatan walikota. Melainkan hasil Pilkada,” kata Kombes Ade Safri.

Pemanggilan Arkham ini menghebohkan. Kritik ke Polri bertubi-tubi. Bangsa ini sedang giat-giatnya belajar demokrasi, sekarang. Semangat perlawanan rakyat (disebut kritik) terhadap unsur pemerintah, luar biasa dahsyat. Sampai-sampai, orang yang berpendapat membela unsur pemerintah, dianggap dibayar. Paling tidak, dianggap cemen.

Muncul, perlawanan juga. Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, kepada wartawan, Selasa (16/2/2021) mengatakan: Arkham mestinya tak perlu diciduk. Karena, ujarannya masuk kategori kritik.

“Kan, ini kritik. Kalau itu disebut hoaks, sama dengan Gibran tahu sepakbola,” kata Asfinawati.

Maksud Asfinawati begini: Pernyataan Arkham, bahwa Gibran tidak mengerti tentang sepakbola, sudah benar. Bukan kebohongan. Kalau itu disebut kebohongan, berarti Gibran paham sepakbola, dong.

Jadi, Ketum YLBHI mengambil sudut pandang nomor satu: “Gibran tidak paham sepakbola”. Sedangkan, Kapolresta Solo mengambil sudut nomor dua: “Gibran dikasih jabatan walikota”.

“AM (Arkham Mukmin) menyatakan, Gibran dikasih jabatan, berarti dia menghina KPU, Bawaslu, Polri, TNI, dan rakyat pemilih di Pilkada Solo,” kata Kapolres Solo, Kombes Ade Safri.

Akhirnya, Arkham minta maaf. Hari itu juga. di situ juga. Direkam video di Polresta Solo. Diunggah di akun resmi Polresta Solo.

Mungkin, saat itu Arkham tersadar. Bahwa kalau ia ngotot, dan kasusnya diteruskan, secara hukum ia bakal kalah. Dasarnya, penjelasan Kapolresta Solo: “Dikasih jabatan”.

Sepertinya sudah selesai. Tetapi tidak.

Pengacara Boyamin mewakili Arkham, menggugat praperadilan terhadap Kapolresta Solo. Atas penangkapan Arkham. Boyamin mengatakan: “Entah disebut pemanggilan, dijemput, atau apa… Gampangnya, itu penangkapan. Polisi menangkap orang yang mengkritik. Mematikan demokrasi.”

Tak kurang, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melalui siaran pers, dikutip Rabu (17/3/21). Bahwa penangkapan polisi terhadap Arkham, salah. Orang mengkritik, kok ditangkap. Mematikan demokrasi.

Usman mengaitkan itu dengan pernyataan Presiden Jokowi. Bahwa, Februari lalu, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif mengkritik. Jokowi menyatakan itu di laporan tahunan Ombudsman.

“Pemerintah Presiden Jokowi harus membuktikan pernyataannya baru-baru ini, bahwa akan memberi rasa keadilan kepada masyarakat terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik atau ekspresi lainnya yang sah,” tulis Usman.

Usman menilai, penangkapan Arkham, penyempitan terhadap ruang kebebasan dan berekspresi. Maka, Amnesty menyebut belum ada langkah nyata pemerintah, membuktikan komitmen melindungi kebebasan berpendapat.

Pendapat Amnesty Internasional ini sudah ‘naik’. Dari “Tidak paham bola” dan “Dikasih jabatan walikota”, naik ke tingkat Presiden RI.

Apalagi, Walikota Solo Gibran adalah anak kandung Presiden RI Jokowi. Sehingga, klop. Bagai tumbu ketemu tutup. Persoalan di-naik-kelas-kan.

Dengan naik kelas, tentu kelihatan lebih keren. Berada di posisi sebagai pelawan pemerintah, adalah keren.

Che Guevara de la Serna (14 Juni 1928 – 9 Oktober 1967). Tokoh utama revolusi Kuba. Adalah pemberontak. Yang meskipun gerakannya sudah lebih dari setengah abad lalu, gambar wajah Guevara masih disablon di kaos-kaos zaman now.

Di Indonesia, sekarang arus ‘pelawan’ begitu kuat. Ini bagus. Tanpa perlawanan, demokrasi bisa mati. Cuma, kualitasnya. Perlu dipikirkan lagi. Kata Cak Lontong: Mikir… (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *