Bekasi | Lampumerah.id – Pengacara dari Soleman, Siswandi S.H, membantah ada gratifikasi, kuasa hukumnya sebut Soleman hanya beli mobil milik kontraktor di wilayah Kabupaten Bekasi. Hal itu di sampaikan kuasa hukum Soleman, dalam konferensi pers, bahwa perkara yang dialami oleh kliennya saat ini sebenarnya tidak ada unsur pidana karena peristiwa hukum yang disangkakan oleh jaksa terhadap Soleman hanya hubungan perdata biasa yaitu jual beli mobil,”
“Dapat kami jelaskan bahwa klien kami membeli sebuah mobil melalui orang bernama R dengan cara membayar bertahap sebanyak 2 kali pembayaran dan berdasarkan bukti yang disampaikan klien kami kepada penyidik juga telah membayar lunas pembelian mobil tersebut, ini tiba-tiba Klein kami dijadikan tersangka tentu ini sangat aneh dalam nalar hukum yang kami pahami,” kata kuasa hukum Soleman.
“Perkara ini nuansa politiknya sangat kuat, Klien Kami adalah target operasi pihak tertentu untuk menghancurkan kekuatan politik menjelang Pilkada Kabupaten Bekasi 2024, faktanya klien kami ditetapkan sebagai tersangka 28 hari jelang pilkada. padahal Kejaksaan Agung mengeluarkan memorandum terkait dengan penundaan pemeriksaan pidana terhadap peserta pemilu dan pemilukada, untuk menghindari black campaign serta menjaga proses demokrasi agar berjalan baik,” sambungnya
Pihak Soleman menilai keliru bila beli mobil itu dikatakan sebagai gratifikasi, kuasa hukum juga menilai penetapan tersangka Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bekasi tidak tepat.
“Soleman, sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Bekasi, Wakil Ketua DPRD terpilih Kabupaten Bekasi periode 2024-2029, sekaligus Tim Inti Strategi dan Pemenangan Pasangan Bupati nomor urut 03 harus ditahan dan dilumpuhkan, Moral Pendukung harus dijatuhkan, dan 03 harus kalah” Sepenggal kalimat di atas adalah analisis moral yang masuk akal mengingat pemeriksaan dan penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Bekasi (seksi pidana khusus) di saat masa pilkada kabupaten Bekasi 2024 sedang berlangsung,” tuturnya
Kuasa hukum menyebut, pemeriksaan dan penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi kepada Soleman dinilai kurang tepat, diduga “syarat” dengan kepentingan muatan politik, dan diduga sebagai pesanan pihak tertentu yang memiliki power kekuasaan yang besar sehingga Soleman sebagai “Target Operasi” harus dilumpuhkan.
Jaksa Agung juga menginstruksikan penundaan proses hukum kepada mereka yang tengah berkontestasi pemilu,”Sesuai Instruksi Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan dalam mendukung dan menyukseskan penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024. Instruksi tersebut menjadi pedoman bagi semua pegawai kejaksaan dalam bersikap dan bertindak pada Pemilu 2024 sekaligus sebagai antisipasi agar kejaksaan tidak terseret dalam kepentingan politik praktis.
Pihak kuasa hukum Soleman meminta Kejari Kabupaten Bekasi, menunda pemeriksaan dan penahanan sampai pesta demokrasi pemilu di kabupaten Bekasi selesai.
“Bukankah bisa dilakukan penundaan pemeriksaan dan penahanan setelah proses Penghitungan Pilkada selesai, Apa urgensinya bagi Kejaksaan Negeri memaksakan itu semua, Toh Soleman tidak kemana-mana dan selalu koperatif pada pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya,”kata kuasa hukum Soleman, Siswandi.
“Sikap Ambigu dan Tidak Fair terlihat pada Kejaksaan Negeri Bekasi dimana pada kasus hukum Soleman yang diduga juga melibatkan pihak lain, bisa saja melibatkan oknum anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang lain atau oknum Partai Politik Pengusung yang lain, tetapi mengapa tidak dilakukan langkah hukum yang sama- pemeriksaan dan penahanan- yang sama kepada yang lain,” ungkapnya
Untuk diketahui sebelum nya RS yang sudah ditetapkan sebagai tersangka telah menerima proyek dari SL dengan nilai bervariasi, sekitar Rp200-300 juta per proyek. Total ada 26 proyek dan RS mengaku untuk dapat mengerjakan proyek dengan imbalan diberikan kendaraan roda empat,” katanya.
Atas dasar itu Soleman disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau kedua Pasal 12 huruf e atau ketiga 12 huruf b atau keempat Pasal 5 ayat 2 junto Pasal 5 ayat 1 huruf a.
Kemudian atau kelima Pasal 5 ayat 2 junto Pasal 5 ayat 1 huruf b atau keenam pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.