Sepak Bola dan Kapitalisme

Oleh: Machmud Suhermono (Pengamat Bola Surabaya)

Surabaya l lampumerah.id – Sebagaimana bidang lainnya, kompetisi sepakbola adalah industri. Era kapitalisme mengubah wajah dari sekedar olahraga menjadi industri yang harus mendatangkan keuntungan atau cuan.

Sehingga setiap musim akan muncul gosip, isu soal kontrak pemain, pelatih, pergantian sponsor atau owner dan gimik-gimik lainnya.

Setidaknya ada 9 sampai 10 stakeholder yang harus dibahagiakan.

Mereka adalah Owner Klub, Pelatih (Manager), pemain, agen, sponsor, Pengelola Liga, Asosiasi, Pemegang Hak Siar Televisi, rumah judi baik yang legal maupun ilegal dan tentunya Supporter (termasuk Netizen).

Dibanding 5 Liga teratas Eropa lainnya, English Premier League (EPL) mempunyai beberapa ‘kelebihan’.

Jarak interval point antar klub ‘dijaga’ iramanya agar tidak terlalu jauh. Bahkan klub-klub yang berada di zona degradasi bisa menghajar klub pamuncak klasemen tanpa ampun. Sehingga seringkali gelar juara ditentukan dalam laga terakhir.

Dalam catatan sejarah setiap kurun waktu 20-25 tahun, akan muncul klub-klub “Cinderella” yang menjadi Juara EPL.

Blackburn Rovers kampiun 1995 dan Leicester City menjadi Juara EPL 2015.

Apa dampaknya?

Pemegang hak siar televisi akan tersenyum lebar karena rating pemirsanya selalu dalam posisi teratas. Sehingga harga jual hak siar ke belahan benua lainnya akan semakin mahal.

Rumah judi tak kalah bahagianya, karena pemasang tebak skor akan semakin meningkat, seiring dengan semakin unpredictable nya hasil laga.

Sponsorship juga senang, karena produknya dilihat dan diapresiasi jutaan calon konsumennya.

Agen pemain semakin rajin ‘jualan’ gosip dan isu, agar harga jualnya semakin mahal. Sebab, konon agen mendapat hak sekitar 10 persen lebih dari penjualan pemain.

Owner klub, pemain, pelatih tentu saja girang bukan kepalang. Penonton di stadion makin penuh. Supporter atau penggemar di luar Inggris memberikan dukungan lewat media sosial dan menontonnya di televisi. Jersey dan pernak-pernik klub laris manis.

Syeikh Mansour bin Sayeed Al Nahyan yang mampu mendobrak tradisi Liga Inggris. Sultan dari Keemiran Abu Dhabi Uni Emirat Arab (EUA) itu mampu merevolusi klub tetangga MU menjadi salah satu raksasa di bumi Raja Charles.

Bayangkan Manchester City mampu meraih 6 kali juara EPL dalam 7 musim terakhir. Bahkan The Citizen mencetak rekor menjadi satu-satu klub Liga Inggris yang mampu meraih Juara 4 kali beruntun, sejak musim 2020-2021 hingga musim lalu.

Bila tiga minggu terakhir ini City meraih hasil yang kurang membahagiakan, ya tenang dan biasa saja.

Baru juga 13 Laga, klub sebelah sudah eforia seperti layaknya Juara. Padahal masih ada 25 laga lagi menuju akhir musim. Segala sesuatu bisa terjadi. Semua kemungkinan bisa berakhir di luar harapan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *