Barongsai Tak Lagi Duel

Oleh: Djono W. Oesman

Gendang ditabuh, tempo lambat. Simbal ambyar, di tiap akhir ketukan. Dua Barongsai berlenggak-lenggok. Kiri-kanan. Menggaruk kepala. Mendadak gong berbunyi, dua Barongsai jatuh. Koprol, guling guling. Lantas, sigap berdiri lagi. Ekornya bergerak kopat-kapit… Penonton sorak-sorak.

Itulah suasana Imlek. Atraksi meriah dengan warna-warni merah, kuning emas, putih dan hijau. Atraksi menyambut tahun baru Imlek. Yang 2021 ini masuk tahun kerbau logam.

Gerak koprol Barongsai itu ternyata atraksi pembuka. Berikutnya, dua Barongsai itu duel. Gerakan mereka bukan gaya tarung manusia. Melainkan singa.

Merunduk, condong ke kanan, terus bergeser arah kanan. Keduanya bergerak sama. Ritmik. Sehingga posisi mereka tetap konsisten, mencari celah, siap menerkam.

Tiba-tiba, hampir bersamaan, mereka berdiri. Sama-sama mencakar. Hendak menimpakan tubuh ke lawan. Tapi, lawan cepat beringsut. Tumbukan tak terjadi. Penonton bersorak kagum.

Ratusan penonton di situ. Di sebuah lapangan. Ada lima tonggak besi. Masing-masing berjarak 1,5 meter. Tingginya berurutan, mulai pendek, sampai setinggi lima meter. Di atas tonggak tertinggi, digantung daun selada. Ada amplop merah menyatu selada.

Dikutip dari China Highlights, Minggu (18/02/2018) begitulah atraksi Barongsai pada Imlek 2018 di Singapura. “Jangan salah, Singa (Barongsai) bukan bergerak mengikuti musik. Bukan begitu. Melainkan sebaliknya,” tulis pengamat Barongsai, Yiing Zhi.

Pantesan, penabuh gendang, simbal, gong, dan alat musik tiup, mengawasi teliti gerak Barongsai. Mata mereka tak berkedip. Karena musik mengikuti gerak Barongsai.

Uniknya, Barongsai dan musik selalu harmonis. Tak pernah kejar-kejaran. Atau dis-harmoni. “Karena para pemusik sudah hafal pada sinyal-sinyal gerak Barongsai. Sebelum bermanuver, Barongsai melakukan gerak tertentu sebagai sinyal,” tulis Yiing Zhi.

Satu Barongsai dimainkan dua orang. Satu sebagai kepala, satunya ekor. Pemain kepala biasanya pemain yang kurus lincah. Pemain ekor harus kuat, badan gempal.

Sekali-sekali, Barongsai bakal berdiri. Maka, posisi pemain depan naik, dipanggul pemain belakang. Itu sebab, pemain depan harus kurus.

Pemain depan harus inovatif. Bagian kepala ini yang jadi perhatian penonton. Gerakan menggaruk kepala, menjilat-jilat, dan mengerdipkan mata, disesuaikan dengan reaksi penonton. Komunikatif dengan penonton.

Ketika berguling, dua pemain harus kompak. Apakah mereka akan berhenti di posisi tidur. Lalu garuk-garuk perut. Atau koprol, langsung bangkit lagi.

Pemain belakang menyesuaikan semua manuver pemain depan. Terutama, penyesuaian antara ekspresi kepala dengan ekor. Kalau mata berkedip-kedip, ekor kopat-kapit. Sehingga kesatuan yang kompak.

Dikutip dari The Star, Minggu (18/02/2018, jika dua Barongsai duel, pemenangnya akan menaiki tiang-tiang besi. Meloncat dari satu tiang ke tiang lain. Dari yang rendah sampai yang tinggi. Setelah itu, ia akan ‘memakan’ selada. Sekaligus angpao, amplop merah isi duit.

Selada digantung pada ketinggian 6 meter dari tanah. Disebut cai qing. Hanya seniman bela diri terlatih yang dapat memperoleh uang sambil menari dengan selalu menyangga kepala singa yang berat.

Dulu, 1950 sampai 1960-an, di Singapura, Hongkong, Taiwan, dua Barongsai yang duel, berasal dari dua organisasi (perkumpulan) berbeda. Sehingga pertarungan benar-benar kompetitif. Sungguh-sungguh saling menyerang.

Akibatnya, kelompok Barongsai dianggap “gangster”. Efeknya sering berantem antara kelompok barongsai dan sekolah kung fu. Di panggung atraksi, mereka bisa saling melukai. Dengan curang.

Gerak duel tetap indah. Karena ditonton ratusan orang. Tapi, di balik topeng Barongsai mereka membawa pisau. Digunakan melukai kaki lawan. Penonton tidak pernah tahu itu. Sebab, jika ada kaki pemain berdarah, atau langkahnya pincang, dikira terluka akibat gesekan lantai. Atau terkilir.

Ada juga yang memasang tanduk logam, di dahi singa mereka. Jika tanduk mengenai lawan, tentu terluka. Agar menang. Meraih angpo.

Setelah 1960, tidak begitulagi. Para orang tua melarang anak-anak mereka bergabung kelompok Barongsai. Jadinya, kekurangan pemain. Solusinya, dua Barongsai yang duel berasal dari satu perkumpulan. Sehingga tidak mungkin saling menyakiti.

Kini, setiap tim Barongsai bertemu tim lain, mereka akan berjabat tangan. Mereka sepakat tidak duel berebut angpo.

Dalam pertunjukan tradisional di Tiongkok, saat Barongsai memasuki desa, diharuskan memberi penghormatan di pura setempat. Menemui kepala desa, memberi hormat. Jika bertemu kelompok Barongsai lain, mereka berbagi wilayah, untuk main atraksi.

Sekarang, jika ada dua Barongsai bertarung, pertarungan tetap seru. Dan indah. Karena gerak mereka terikat ritme tempo musik. Dengan ekspresi kehewanan yang alami. Tapi, ketika ekor kopat-kapit, bagi manusia kelihatan lucu.

Di Imlek ini, bakal jarang ada Barongsai. Akibat pendemi. Tak ada Barongsai bertarung. Tapi bisa ditonton di medsos. Selamat Imlek. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru